Minggu, 22 Februari 2015

Sejarah dan Peradaban Islam Periode Pertengahan (Kerajaan Safawi)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nama Safawiyah dalam lembaran sejarah Islam dikenal sebagai nama kerajaan yang pernah ada di Iran, yang berawal dari sebuah gerakan tarekat yang bernama Safawiyah di kota Ardabil, sebuah kota yang terletak di daerah Azerbajian.[1]Sangat menarik untuk dikemukakan bahwa dalam sejarah Islam ditemukan adanya organisasi gerakan tarekat yang berubah menjadi sebuah institusi kerajaan. Tampaknya adanya perubahan Safawiyah dari sebuah gerakan keagamaan menjadi suatu gerakan politik patut menjadi perhatian. Bisa jadi, manakala membicarakan Safawiyah sebagai suatu organisasi tarekat para sufi, mungkin dalam benak pikiran akan tergambar kegiatannya, bahwa organisasi ini digambarkan sebagai organisasi keagamaan yang mewadahi aktivitas para sufi yang semula lebih berorientasi ukhrawi, kemudian secara tiba-tiba berubah menjadi gerakan politik yang sangat berorientasi duniawi.[2]
Walaupun gambaran ini dipandang sebagai hal yang sifatnya sangat antagonistic, realitanya memang benar-benar ada dan terjadi. Jika dikaji dalam sejarah, kasus yang terkait dengan gerakan Safawiyah ini memang sudah banyak terjadi. Pada abad modern ini misalnya, di Afrika Utara pernah terjadi pada Tarekat Sanusiyah, di Sudan terjadi pada Tarekat Mahdiyah, dan di Rusia terjadi pada Tarekat Muriyah dan Naqsabandiyah yang semuanya berubah menjadi gerakan politik.[3]Dalam makalah ini, Kami akan memaparkan mengenai Kerajaan Safawiyah dalam konteks Asal-Usul Kerajaan Safawi, Proses Berdiri Kerajaan Safawiyah, dan Pertumbuhan Kerajaan Safawiyah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Etimologi dan Hubungannya figur Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily?
2.      Bagaimana Proses Safawiyah menjadi Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik?
3.      Bagaimana Proses berdirinya Kerajaan Safawiyah dan pertumbuhannya?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Etimologi dan Hubungannya figur Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily.
2.      Untuk mengetahui Proses Safawiyah menjadi Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik.
3.      Untuk mengaetahui Proses berdirinya Kerajaan Safawiyah dan pertumbuhannya.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Etimologi Safawiyah dan Hubungannya dengan Kehidupan Figur Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily
Ada dua pendapat yang berbeda tentang etimologi atau asal-usul dari nama Safawi. Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata shafi, yaitu gelar yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawiyah, yaitu Shafi Ad-Din Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), seorang pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung.[4] Adapun P.M. Holt berpendapat bahwa Safawiyah berasal dari kata Safi, yaitu bagian dari nama Safi Ad-Din Al-Ardabily. Meskipun ia tidak mengemukakan alasan, secara gramatika bahasa Arab, pendapat inilah yang dipandang lebih tepat.[5] Safi Ad-Din dan nama Safawiyah ini akhirnya yang terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[6]
Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily lahir pada tahun 650 H/ 1252 M, enam tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan kota Baghdad dan mengakhiri keberadaan dinasti Abbasiyah.[7] Ia lahir di kota Ardabil, sebuah kota yang terletak paling timur di daerah Ajerbaizan. Sejak kecil, ia sudah menggemari berbagai ritual amalan keagamaan, kemudian mencintai kehidupan sufi. Dalam usia 25 tahun, ia berguru dengan seorang sufi yang bernama Zahid Taj Ad-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) atau yang lebih dikenal sebagai Zahid Al-Gilani[8] di Jilan.
Selama dua puluh lima tahun, ia telah melakukan Mulazamah dengan pemimpin tarekat yang terkenal ini, yang kemudian menjadi mertuanya. Setelah Syekh Zahid meniggal dunia pada tahun 1301 M, ia pun tampil menjadi pemimpin ribbath dan tarekat, yang kemudian terkenal dengan tarekat Safawiyah yang berpusat di Ardabil. Ia pun terkenal sebagai seorang sufi yang besar dan dianggap keramat oleh para pengikutnya.[9] Menurut Hamka, para pengikut tarekat ini dikenal sangat teguh memegang ajaran agamanya. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah berdiri dengan tujuan memerangi orang-orang yang mengingkari agama Islam dan memerangi golongan yang mereka sebut sebagai ahli-ahli bid’ah. Keberadaan tarekat yang dipimpin Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily ini semakin signifikan setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari hanya sebatas melakukan kegiatan pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia.[10]
Adapun mengenai asal-usul keturunan Safi Ad-Din Al-Ardabily, sampai sekarang masih menjadi misteri yang kontroversial. Menurut sebuah sumber yang diperoleh dari keluarga Safawi, Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya.[11] Ia adalah keturunan dari Musa Al-Kazim (Imam ke-7 dari kelompok Syi’ah Itsna Asyariyah), sehingga ia termasuk keturunan Rasulullah melalui putrinya Fatimah. Hasil pelacakan ini dikaitkan dengan pengklaiman mereka terhadap Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily sebagai seorang yang bermazhab Syi’ah. Akan tetapi, menurut pendapat P.M. Holt, Husain Muknas dan Sayed Ahmad Ibnu Zaini Dahlan, Safi Ad-Din adalah keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Azari, bahasa Turki yang dipakai di Ajerbaizan. Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily bukanlah penganut aliran Syi’ah, melainkan seorang Sunni yang diduga bermazhab Syafi’i. Adapun penggantinya yang kedua sebagai pemimpin Safawiyah, yaitu Khawaja Ali merupakan seorang penganut Syi’ah yang moderat.[12]
B.     Safawiyah sebagai Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik
Berdasarkan beberapa infromasi, Kerajaan Safawiyah berdiri secara resmi di Iran pada tahun 907 H/ 1501 M, yaitu pada saat Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja atau syah di Tabrez.[13] Sekalipun demikian, kejadian sejarah yang penting ini tidaklah berdiri sendiri. Momen peristiwa berdirinya Safawiyah sebagai kerajaan sangat berkaitan dengan peristiwa sebelumnya dalam jangka waktu yang cukup panjang, yaitu kurang lebih dua abad, waktu yang hamper sama dengan usia Kerajaan Safawiyah. Selama dalam rentang waktu yang panjang itu, embrio Safawi sejak masa Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily berkembang lambat, tetapi secara pasti bergerak menuju saat-saat yang bersejarah.[14]
Sejak Safi Ad-Din mulai memimpin ribath dan mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 13010 M  samapi kepada Syah Ismail memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawiyah pada tahun 1501 M, telah banyak pengalaman dari keluarga Safawi dalam perjuangan menegakkan cita-citanya. Selama dua abad itu, paling tidak terdapat dua tahapan perjuangan yang telah dilalui mereka. Pertama, perjuangan menegakkan cita-citanya dalam orientasinya sebagai sebuah gerakan keagamaan. Kedua, perjuangan menegakkan cita-citanya setelah mengubahnya sebagai sebuah gerakan politik.[15]
Dalam periode tahun 1301-1447 M/ 700-850 H, gerakan Safawiyah masih merupakan gerakan murni keagamaan, dengan Tarekat Safawiyah sebagai medianya. Selama periode ini, Safawiyah mempunyai jumlah pengikut yang besar sekali, tidak hanya di daerah Persia, tetapi juga sampai ke daerah Syria dan Anatolia. Umumnya pengikut-pengikutnya adalah dari suku-suku Turki yang masih nomad yang disebut Turkman. Di antara suku-suku tersebut adalah Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takalu, Ashfar, dan Qajar.[16]
Dalam periode pertama ini, gerakan Safawiyah tidak mencampuri masalah politik, sehingga ia berjalan dengan aman, baik pada masa dinasti Ilkhan maupun pada masa Timur Lenk. Konstilasi politik seperti pada masa dinasti Ilkhan dan Timur Lenk dapat dikatakan sebagai masa yang paling suram dalam sejarah Islam sehingga dapatlah dimengerti jika kehidupan tarekat sufi bisa tumbuh dan mendapat simpati masyarakat banyak. Umat Islam pada masa ini, umumnya hidup dalam keadaan apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk. Hanya kehidupan keagamaan melalui sufisme, mereka bisa mendapatkan kekuatan mental dalam menghadapi kehidupan. Hanya melalui persaudaraan di antara sesama Muslim.[17]
Menurut P.M. Holt, selama periode pertama ini, gerakan Safawiyah mempunyai dua corak. Tahap pertama bercorak Sunni, yaitu pada masa pimpinan Safi Ad-Din Ishak (1301-1334 M) dan anaknya Sadr Ad-Din Musa (1334-1399 M). Selanjtnya, dalam tahap kedua, pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Sadr Ad-Din Musa (1399-1427 M) gerakan Safawi berubah corak menjadi Syi’ah.[18] Ada kemungkinan terjadinya perubahan corak tersebut sinkron dengan bertambahnya pengikut Safawiyah dari kalangan komunitas masyarakat Syi’ah, sehingga pimpinannya berusaha mengadaptasikan diri dengan aliran mayoritas pengikutnya.
Selanjutnya, dalam periode 1447 sampai dengan 1501 M, gerakan Safawiyah memasuki periode kedua dalam perjuangannya, yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpinnya pada saat itu, Al-Junaid Ibnu Ali melakukan arah perubahan menjadi sebuah gerakan politik revolusioner, dengan Tarekat Safawiyah sebagai sarananya. Akibatnya, Safawi mulai terlibat dalam konflik dengan kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu.[19]
Secara kebetulan, saat itu di Persia terdapat dua buah kerajaan Turki yang berkuasa, yaitu Kerajaan Kara Koyunlu (Domba Hitam) yang berkuasa di bagian Timur dan Ak-Koyunlu (Domba Putih) yang berkuasa di bagian Barat. Kerajaan pertama beraliran Syi’ah dan yang kedua beraliran Sunni.[20] Karena kegiatan politiknya, pemimpin Safawiyah terpaksa meninggalkan Ardabil karena mendapatkan tekanan dari raja Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu.
Junaid kemudian meminta suaka politik kepada Raja Uzun Hasan di Diyar Bakr, seorang penguasa dari Kerajaan Ak-Koyunlu. Meskipun pemimpin Safawi memiliki perbedaan dalam aliran keagamaan dengan Ak-Koyunlu, karena memiliki persamaan dalam visi politik, mereka tetap bersepakat untuk mengadakan semacam aliansi. Mereka sama-sama menghadapi kekuatan Kerajaan Kara Koyunlu, penguasa daerah Persia dan sebelah Timur daerah Bulan Sabit yang subur (Fertile Crescent). Aliansi politik ini diperkuat lagi dengan perkawinan antara Junaid dan saudara Uzun Hasan. Aliansi politik yang diperkokoh dengan sistem kekerabatan ini diperkuat lagi dengan perkawinan antara Haidar putra Junaid (dalam perkawinannya dengan sandara Uzun Hasan) dengan putri Uzun Hasan sendiri dari istrinya yang bernama Despina Katrina, seorang putri Kaloo Johannis, raja kerajaan Kristen Trabuzun di Pantai Timur Laut Hitam.[21]
Selama dalam perlindungan Ak-Koyunlu, Safawiyah melakukan beberapa kegiatan politik, baik semasa pimpinan Junaid maupun pada masa Haidar. Salah satunya, yaitu pada tahun 1459 M, Junaid berusaha untuk menyerang Ardabil, walaupun mengalami kegagalan. Ia pun berusaha untuk menyerang daerah-daerah utara yang didiami oleh orang-orang Kristen Georgia dan Circasia, namun mengalami kegagalan yang sama. Bahkan, ia bernasib tragis dengan tewas di tangan penguasa dari Syirwan yang diserangnya pada tahun 1460 M.[22]
Haidar Ibnu Junaid maju menggantikan ayahnya. Ia juga mengikuti jejak ayahnya untuk menyerang daerah-daerah Kristen Utara, tetapi juga mengalami kegagalan. Kecenderungan para pemimpin Safawiyah untuk melakukan penyerbuan ke daerah-daerah tersebut bertujuan untuk mendapatkan sebuah tanah yang dapat dijadikan sebagai tempat membangun kekuatan politik independen pada masa depan karena selama ini para pemimpin Safawiyah merasa hanya sebuah dinasti politik spiritual tanpa tanah air.
Meskipun Haidar belum bisa mewujudkan cita-cita gerakan Safawiyah, ia sempat memberikan suatu atribut kepada para pendukungnya dengan serban merah yang berumbai dua belas sehingga terkenallah dengan sebutan Qizilbash atau serban Merah. Umbai dua belas melambangkan Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Dua belas Imam) yang menjadi panutan mereka. Atribut ini sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan fanatisme kepada para pengikutnya dan sekaligus menigkatkan militansi mereka. Peranan Qizilbash sangat besar dalam mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan Safawiyah pada kemudian hari.
Setelah Ak-Koyunlu berhasil menumbangkan Kerajaan Kara Koyunlu pada tahun 1476, aliansi Safawi dengan Ak-Koyunlu menjadi goyah. Kemenagan Ak-Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer Safawiyah yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh penguasa Kerajaan Ak-Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, Safawiyah adalah sekutu Ak-Koyunlu. Ak-Koyunlu berusaha untuk melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan dinasti Safawiyah. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sirkasia dan pasukan Syirwan, penguasa Ak-Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Syirwan, sehingga Haidar kalah dan ia sendiri tewas dalam peperangan itu.[23]
C.     Proses Berdiri dan Pertumbuhan Kerajaan Safawiyah
Ketika Haidar kalah pada saat menyerang ke wilayah Sirkasia oleh militer Syirwan dan Ak-Koyunlu, Ali sebagai putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap Ak-Koyunlu, tetapi Yakub pemimpin Ak-Koyunlu berhasil menagkap kemudian memenjarakannya dan membuangnya ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya, yaitu Ibrahim dan Ismail selama empat setengah tahun (1489-1493M).[24]
Situasi ini mendorong para pengikut Safawi yang tersebar luas di Persia, Armenia, Anatolia, dan Syria melakukan konsolidasi kekuatan sendiri. Menyiasati hal ini, Raja Rustam, sebagai penguasa dari Kerajaan Ak-Koyunlu dengan alasan kepentingan politik membantu menghadapi saudara sepupunya dalam mempertahankan kedudukannya, kemudian melepaskan Ali.[25]
Setelah berhasil memenuhi kepentingan Raja Rustam, Ali kembali ke Ardabil dengan penuh kemenangan. Akan tetapi, keadaan ini tidak berjalan lama karena Ali kembali ditangkap oleh Rustam dan dikirim ke Khoy. Ali dapat melarikan diri dan berusaha kembali ke Ardabil, tetapi ia terus dikejar oleh tentara Ak-Koyunlu yang berhasil membunuhnya. Sebelum Ali meninggal, ia sempat mengangkat adik bungsunya yang masih berusia tujuh tahun, yang bernama Ismail Ibnu Haidar menjadi pemimpin Safawi.[26]
Ismail yang masih remaja itu berusaha memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah dan pemimpin gerakan Safawiyah untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara sembunyi-sembunyi, ia menjalin hubungan erat dengan para pengikutnya yang tersebar luas di mana-mana. Hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan berbagai elemen kekuatan politik yang cukup besar, sehingga ia mulai mengadakan perhitungan dengan musuh-musuh Safawiyah selama ini, seperti penguasa Syirwan dan Al-Koyunlu yang telah membunuh beberapa orang pemimpin Syafawi sebelumnya. Setelah berhasil membereskan Syirawan, di bawah pimpinan Ismail pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang pasukan Ak-Koyunlu, sehingga pecahlah perang yang sangat dahsyat antara keduanya di Sharur dekat Nakhiwan, dengan kemenangan di pihak Safawi. Pada tahun itu juga, Ismail dengan penuh kemenangan memasuki kota Tabrez, seraya memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawi dan ia sendiri sebagai syah atau raja pertama serta mendekritkan Syi’ah Itsna Asyariyah sebagai agama negaranya.[27]
Dengan diperolehnya kemenangan dalam peperangan di Sharur, pada tahun 1501 Ismail mulai memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawiyah. Dengan berdirinya Kerajaan Safawiyah, kekuasaan Kerajaan Ak-Koyunlu berakhir di Iran. Iran telah beralih dengan diperintah oleh Kerajaan Safawiyah.[28]
Peran Ismail sebagai pendiri Kerajaan Safawiyah sangat besar. Ia adalah raja pertama dari Kerajaan Safawiyah yang berperan sebagai peletak fondasi bagi tegaknya kemajuan Safawiyah. Selama memerintah, ia telah memberikan sentuhan warna tersendiri bagi Kerajaan Safawi dengan menetapkan Syi’ah sebagai agama negara.[29]Syah Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi kerajaannya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang “unik” pada masanya.
Selama lebih kurang satu dasawarsa pertama dari pemerintahannya, Ismail berhasil memperluas wilayah Kerajaan Safawiyah yang mencakup seluruh daerah Persia dan sebelah Timur Fertile the Crescent. Prestasi besar ini diperolehnya berkat keberaniannya di medan perang melawan musuh-musuhnya yang berhasil dikalahkannya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa rangkaian kronologis keberhasilan Syah Ismail dalam mengalahkan musuh-musuhnya, seperti pada tahun 1502 M, ia berhasil menduduki daerah Syirwan, Azerbaijan, dan Irak. Pada tahun 1503 M, ia berhasil menghancurkan sisa-sisa tentara Ak-Koyunlu di Hamadan. Pada tahun 1504 M, ia menduduki daerah Kasfia, Mazandaran, dan Ghurghan. Diyar Bakr dapat ditaklukan pada tahun 1505 M. Kota Baghdad jatuh ke tangan kekuasaannya pada tahun 1508 M. Kemudian, pada tahun 1510 M, ia berhasil menguasai wilayah Khurasan seluruhnya, setelah terlibat pertempuran besar dengan Muhammad Syaibani Khan, seorang raja Uzbek. Dengan kemenangan beruntun ini, Syah Ismail berhasil mewujudkan wilayah Kerajaan Safawiyah terbentang luas, dari kota Heart di Timur, sampai daerah Diyar Bakr di Barat.[30]
Karena prestasinya di medan peperangan yang sangat menakjubkan, sebagai pahlawan yang tak terkalahkan, ia dianggap oleh para pengikutnya, terutama di kalangan para Qizilbash sebagai raja yang memiliki unsur ke-Ilahi-an. Bahkan, ia sendiri pernah menganggap sebagai manifestasi Tuhan di muka bumi.[31]
Selanjutnya, setelah keberhasilannya dengan kegiatan ekspansi wilayah, Ismail melakukan perombakan terhadap struktur pemerintahannya. Pada awalnya, Syah Ismail langusng memimpin seluruh aspek dari penyelenggaraan pemerintahannya dalam tangannya. Seluruh kekuasaannya terpusat pada dirinya. Artinya, ia memegang kekuasaan dalam bidang politik dan keagamaan. Dengan demikian, pemerintahan Safawi benar-benar seperti suatu pemerintahan teokrasi karena syah dianggap sebagai bayangan Tuhan di muka bumi. Selanjutnya, ia mulai mengubah struktur pemerintahannya. Munculnya ide untuk melakukan perubahan terhadap struktur pemerintahan yang diberlakukan Syah Ismail didasari oleh sikap frustasi setelah mengalami kekalahan dari Sultan Salim I dari Kerajaan Turki Usmani dalam peperangan di Calderan. Dalam pertempuran di Calderan, ia mengalami kekalahan, sehingga beberapa daerahnya, termasuk ibukota Tabrez jatuh ke tangan Usmani. Ia terpaksa menandatangani perjanjian damai dengan Sultan Salim. Rupanya kekalahan ini telah meruntuhkan mitos ke-Ilahi-an Syah Ismail.[32]
Mengenai sebab-sebab pecahnya peperangan di antara Kerajaan Safawiyah dengan Turki Usmani adalah sulit untuk memisahkan antara faktor politik dengan agama.Kebangkitan Kerajaan Safawi di Persia dianggap sebagai ancaman politik bagi Kerajaan Turki Usmani di bagian timur wilayahnya. Di samping itu, penguasa Safawi dengan penuh ambisi memaksa aliran Syi’ah kepada rakyat di daerah-daerah yang baru ditaklukannya yang sebagian besar bermazhab Sunni. Bahkan, Syah Ismail membunuh beribu-ribu ulama Sunni di daerah Irak. Sultan Turki sebagai pendukung mazhab Sunni merasa terpanggil untuk menghadapi kekuatan Syi’ah tersebut. Kedua faktor itulah yang menggiring kedua penguasa itu bertemu di medan perang. Sebagai implikasinya, kekalahan dari pihak kerajaan Safawiyah ini telah menimbulkan kekecewaan dan kesedihan bagi Syah Ismail. Sebagai sublimasinya, ia banyak menenggelamkan dirinya dalam pesta minum yang memabukkan. Selain itu, waktunya banyak dihabiskan untuk berburu. Dengan demikian, ikatan keagamaan yang terbina selama ini antara Syah Ismail dengan Qizilbash menjadi renggang.[33]
Syah Ismail mulai melakukan perombakan dalam pemerintahannya dengan memerintah secara tidak langsung. Ia mulai menghidupkan jabatan wakil-I nafs-I hamyun (Wakil Syah) dan amir al-Umara (panglima perang). Wakil syah merupakan orang kepercayaan syah dan bertanggung untuk merencanakan semua urusan Negara dan agama. Jabatan ini dipegang oleh opsir-opsir dari suku Shamlu; suku pendukung Qizilbash yang banyak berjasa besar dalam membantu Syah Ismail pada periode pertama dari perjuangannya. Adapun kalangan tinggi bangsa Persia diberi jabatan Wajir dan Sadr. Yang pertama menangani politik keagamaan. Pejabat Sadr inilah yang melakukan propaganda secara intensif kepada rakyatnya untuk mengikuti Syi’ah Dua Belas pada masa Syah Ismail. Dengan struktur pemerintahan yang diciptakannya ini, Syah Ismail bermaksud agar roda pemerintahan Safawi berjalan dengan baik, meskipun tidak langsung menanganinya.[34]
Pada tahun 1524 M, Syah Ismail meninggal dunia. Dari periode tahun 1524 M sampai tahun 1587 M di Kerajaan Safawiyah telah memerintah sebanyak tiga orang syah, yaitu Syah Tahmasa (1524-1576 M), Syah Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Syah (1577-1587 M). Masa pemerintahan ketiga syah tersebut merupakan masa yang tidak menggembirakan bagi perkembangan Kerajaan Safawiyah karena mereka mempunyai kepribadian yang lemah, apalagi kedua syah terakhir. Oleh karena itu, pada masa ini roda pemerintahan banyak dijalankan oleh tokoh-tokoh Qizilbash, yang pada saat ditinggalkan Syah Ismail, telah bergeser loyalitasnya kepada suku masing-masing tempat mereka berasal. Bahkan, selama itu pula, dikenal dua periode pemerintahan efektif yang dipegang oleh Qizilbash. Pertama, tahun 1524 M s.d. 1533 M, secara berturut-turut pemerintahan dipegang oleh Triumvirat: Suku Rumlu, Takallu, dan Ustajlu (1524-1527 M). Kemudian, dilanjutkan oleh Duumvirate: Rumlu dan Takallu (1527-1530 M), serta terakhir oleh penguasa tunggal Shajlu (1530-1533 M). Selanjutnya, periode kedua antara tahun 1579-1587 M, yaitu pada masa akhir pemerintahan Syah Muhammad yang buta, kekuasaan dipegang oleh para gubernur yang terdiri atas para pemimpin suku-suku Qizilbash, seperti Takkalu di Qazwin, Ustajlu di Khurasan, Shamlu di Heart, dan lain-lain. Keadaan ini terus berlanjut sampai muncul figur Abbas yang menandai akhir kekuasaan Qizilbash. Pada masa Abbas (1587-1629 M), Kerajaan Safawi mengalami masa kemajuannya.[35]







BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Ada dua pendapat yang berbeda tentang etimologi atau asal-usul dari nama Safawi. Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata shafi, yaitu gelar yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawiyah, yaitu Shafi Ad-Din Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), seorang pendiri dan pemimpin tarekat Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung. Adapun P.M. Holt berpendapat bahwa Safawiyah berasal dari kata Safi, yaitu bagian dari nama Safi Ad-Din Al-Ardabily. Meskipun ia tidak mengemukakan alasan, secara gramatika bahasa Arab, pendapat inilah yang dipandang lebih tepat. Safi Ad-Din dan nama Safawiyah ini akhirnya yang terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.
Dalam periode tahun 1301-1447 M/ 700-850 H, gerakan Safawiyah masih merupakan gerakan murni keagamaan, dengan Tarekat Safawiyah sebagai medianya. Selama periode ini, Safawiyah mempunyai jumlah pengikut yang besar sekali, tidak hanya di daerah Persia, tetapi juga sampai ke daerah Syria dan Anatolia. Umumnya pengikut-pengikutnya adalah dari suku-suku Turki yang masih nomad yang disebut Turkman. Di antara suku-suku tersebut adalah Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takalu, Ashfar, dan Qajar.Selanjutnya, dalam periode 1447 sampai dengan 1501 M, gerakan Safawiyah memasuki periode kedua dalam perjuangannya, yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpinnya pada saat itu, Al-Junaid Ibnu Ali melakukan arah perubahan menjadi sebuah gerakan politik revolusioner, dengan Tarekat Safawiyah sebagai sarananya. Akibatnya, Safawi mulai terlibat dalam konflik dengan kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu.
Ismail yang masih remaja itu berusaha memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah dan pemimpin gerakan Safawiyah untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya setelah sebelumnya kakaknya Ali mengangkat Ismail (adiknya) untuk menggantikannya. Secara sembunyi-sembunyi, ia menjalin hubungan erat dengan para pengikutnya yang tersebar luas di mana-mana. Hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan berbagai elemen kekuatan politik yang cukup besar, sehingga ia mulai mengadakan perhitungan dengan musuh-musuh Safawiyah selama ini, seperti penguasa Syirwan dan Al-Koyunlu yang telah membunuh beberapa orang pemimpin Syafawi sebelumnya. Setelah berhasil membereskan Syirawan, di bawah pimpinan Ismail pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang pasukan Ak-Koyunlu, sehingga pecahlah perang yang sangat dahsyat antara keduanya di Sharur dekat Nakhiwan, dengan kemenangan di pihak Safawi. Pada tahun itu juga, Ismail dengan penuh kemenangan memasuki kota Tabrez, seraya memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawi dan ia sendiri sebagai syah atau raja pertama serta mendekritkan Syi’ah Itsna Asyariyah sebagai agama negaranya.Dengan diperolehnya kemenangan dalam peperangan di Sharur, pada tahun 1501 Ismail mulai memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawiyah. Dengan berdirinya Kerajaan Safawiyah, kekuasaan Kerajaan Ak-Koyunlu berakhir di Iran. Iran telah beralih dengan diperintah oleh Kerajaan Safawiyah.
B.       Saran
Alangkah lebih baiknya, kita sebagai seorang manusia mengambil hikmah dari setiap kejadian yang sudah berlalu untuk dijadikan semangat di kemudian hari. Salah satu kejadian masa lalu adalah tentang Kerajaan Safawiyah. Kerajaan Safawiyah ini sangat menarik dan banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, bacalah makalah ini dan jadikan sumber rujukan untuk wawasan kita serta ambillah hikmahnya dari setiap kejadian yang terjadi.












DAFTAR PUSTAKA
Ali, Syed Amir. (t.t.).The Spirit of Islam. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I.

Allouche. (1985).The Origins and Development of The Ottoman Safavid Conflict. Michigan: University Microfilm International.

Brockelman, Carl. (1944).History of The Islamic People, Terj. Joel Carmichael dan Moshe Perlmaan. New York: Alien Property Custodian.

______________. (1974).Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah. Beirut: Dar Al-Ilmu.

Hamka.(1981). Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hitti, Philip K. (1974).History of The Arabs. London: The Macmillan Press, 1974.

Holt, P.M., Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.). (1970).The Cambridge History of Islam Vol. I. Cambridge: Cambridge at The University Press.

Jamilah, Mariam. (1984).Para Mujahid Agung, Terj. Hamid Luthfi A.B. Bandung: Mizan.

Kusdiana, Ading. (2013).Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan. Bandung, Pustaka Setia.

Muknas, Husain. (1973).Alam Al-Islam. Mesir: Dar Al-Ma’arif.

Syalaby, Ahmad.(t.t.). Mausuat At-Tarikh Al-Islamy, Juz VII. Kairo: Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyyah.

Yatim, Badri. (1997). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.












[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 138.
[2] Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 165.
[3] Mariam Jamilah, Para Mujahid Agung, Terj. Hamid Luthfi A.B., (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 49-1-9 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 166.
[4] Syed Amir Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I, t.t.), hlm. 491 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 168.
[5] P.M. Holt, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.), The Cambridge History of Islam Vol. I, (Cambridge: Cambridge at The University Press, 1970), hlm. 395; Perhatikan juga pendapat yang sama yang dikemukakan Husain Muknas, Alam Al-Islam, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1973), hlm. 463 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 168.
[6] Badri Yatim, loc. cit., hlm. 138 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 168.
[7] P.M. Holt dkk., op. cit., hlm. 394 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[8] Allouche, The Origins and Development of The Ottoman Safavid Conflict, (Michigan: University Microfilm International, 1985), hlm. 96 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[9] P.M. Holt dkk., loc. cit.,hlm. 395 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[10] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), Cet. Keempat, hlm. 59-60. Dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[11] Badri Yatim, loc. cit., hlm. 138 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[12] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 170.
[13] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press, 1974), hlm. 703.
[14] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 171.
[15] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 171.
[16] P.M. Holt dkk,, loc. cit., hlm. 395.
[17] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 172.
[18] P.M. Holt dkk., loc. cit., hlm. 396 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 172.
[19] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 172.
[20] Tentang sejarah kedua kerajaan tersebut, yaitu Kara Koyunlu dan Ak-Koyunlu dapat dilihat dalam Ahmad Syalaby, Mausuat At-Tarikh Al-Islamy, Juz VII, (Kairo: Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyyah, t.t.), hlm. 766-775.
[21] P.M. Holt dkk., loc .cit., hlm. 775 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 172-173.
[22] Carl Brockelman, Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah, (Beirut: Dar Al-Ilmu, 1974), hlm. 494 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 173.
[23] Badri Yatim, loc. cit., hlm. 140.
[24] Badri Yatim, loc. cit., hlm. 140.
[25] Badri Yatim, loc. cit., hlm. 140.
[26] Husain Muknas, loc. cit., hlm. 397 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 175.
[27]Husain Muknas, loc. cit., hlm. 398 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 175.
[28] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 175.
[29] Menurut Carl Brockelman tindakan Syah Ismail yang terpenting pada masa pemerintahannya adalah kebijakannya di dalam menetapkan Syi’ah sebagai agama Negara yang baru didirikannya. Tindakan ini bukan saja mempertegas perbedaan Kerajaan Safawi dengan Kerajaan Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang pada umumnya beraliran Sunni, tetapi juga telah memberikan suatu perasaan bersatu kepada orang-orang Iran modern sebagai suatu Negara nasional. Lihat Carl Brockelman, History of The Islamic People, Terj. Joel Carmichael dan Moshe Perlmaan, (New York: Alien Property Custodian, 1944), hlm. 320-321 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 175-176.
[30] Ahmad Syalaby, loc. cit., hlm. 778 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 176.
[31] P.M. Holt, loc. cit., hlm. 401 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 176-177.
[32] Ading Ksudiana, loc. cit., hlm. 177.
[33]P.M. Holt, loc. cit., hlm. 401 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 177.
[34]P.M. Holt, loc. cit., hlm. 402-403 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 177-178.
[35] Ading Kusdiana, loc. cit., hlm. 178-179.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar