BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nama
Safawiyah dalam lembaran sejarah Islam dikenal sebagai nama kerajaan yang
pernah ada di Iran, yang berawal dari sebuah gerakan tarekat yang bernama Safawiyah
di kota Ardabil, sebuah kota yang terletak di daerah Azerbajian.[1]Sangat
menarik untuk dikemukakan bahwa dalam sejarah Islam ditemukan adanya organisasi
gerakan tarekat yang berubah menjadi sebuah institusi kerajaan. Tampaknya
adanya perubahan Safawiyah dari sebuah gerakan keagamaan menjadi suatu gerakan
politik patut menjadi perhatian. Bisa jadi, manakala membicarakan Safawiyah
sebagai suatu organisasi tarekat para sufi, mungkin dalam benak pikiran akan
tergambar kegiatannya, bahwa organisasi ini digambarkan sebagai organisasi
keagamaan yang mewadahi aktivitas para sufi yang semula lebih berorientasi
ukhrawi, kemudian secara tiba-tiba berubah menjadi gerakan politik yang sangat
berorientasi duniawi.[2]
Walaupun gambaran ini dipandang sebagai hal yang sifatnya sangat
antagonistic, realitanya memang benar-benar ada dan terjadi. Jika dikaji dalam
sejarah, kasus yang terkait dengan gerakan Safawiyah ini memang sudah banyak
terjadi. Pada abad modern ini misalnya, di Afrika Utara pernah terjadi pada
Tarekat Sanusiyah, di Sudan terjadi pada Tarekat Mahdiyah, dan di Rusia terjadi
pada Tarekat Muriyah dan Naqsabandiyah yang semuanya berubah menjadi gerakan
politik.[3]Dalam
makalah ini, Kami akan memaparkan mengenai Kerajaan Safawiyah dalam konteks
Asal-Usul Kerajaan Safawi, Proses Berdiri Kerajaan Safawiyah, dan Pertumbuhan
Kerajaan Safawiyah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Etimologi dan Hubungannya figur Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily?
2.
Bagaimana
Proses Safawiyah menjadi Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik?
3.
Bagaimana Proses
berdirinya Kerajaan Safawiyah dan pertumbuhannya?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui Etimologi dan Hubungannya figur Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily.
2.
Untuk
mengetahui Proses Safawiyah menjadi Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik.
3.
Untuk
mengaetahui Proses berdirinya Kerajaan Safawiyah dan pertumbuhannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Etimologi
Safawiyah dan Hubungannya dengan Kehidupan Figur Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily
Ada
dua pendapat yang berbeda tentang etimologi atau asal-usul dari nama Safawi.
Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata shafi, yaitu gelar
yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawiyah, yaitu Shafi Ad-Din
Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu
menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung.[4]
Adapun P.M. Holt berpendapat bahwa Safawiyah berasal dari kata Safi, yaitu
bagian dari nama Safi Ad-Din Al-Ardabily. Meskipun ia tidak mengemukakan
alasan, secara gramatika bahasa Arab, pendapat inilah yang dipandang lebih
tepat.[5]
Safi Ad-Din dan nama Safawiyah ini akhirnya yang terus dipertahankan sampai
tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan
setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[6]
Safi
Ad-Din Ishak Al-Ardabily lahir pada tahun 650 H/ 1252 M, enam tahun sebelum
Hulagu Khan menghancurkan kota Baghdad dan mengakhiri keberadaan dinasti Abbasiyah.[7] Ia
lahir di kota Ardabil, sebuah kota yang terletak paling timur di daerah
Ajerbaizan. Sejak kecil, ia sudah menggemari berbagai ritual amalan keagamaan,
kemudian mencintai kehidupan sufi. Dalam usia 25 tahun, ia berguru dengan
seorang sufi yang bernama Zahid Taj Ad-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) atau
yang lebih dikenal sebagai Zahid Al-Gilani[8] di
Jilan.
Selama
dua puluh lima tahun, ia telah melakukan Mulazamah dengan pemimpin
tarekat yang terkenal ini, yang kemudian menjadi mertuanya. Setelah Syekh Zahid
meniggal dunia pada tahun 1301 M, ia pun tampil menjadi pemimpin ribbath dan
tarekat, yang kemudian terkenal dengan tarekat Safawiyah yang berpusat di
Ardabil. Ia pun terkenal sebagai seorang sufi yang besar dan dianggap keramat
oleh para pengikutnya.[9]
Menurut Hamka, para pengikut tarekat ini dikenal sangat teguh memegang ajaran
agamanya. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah berdiri dengan tujuan
memerangi orang-orang yang mengingkari agama Islam dan memerangi golongan yang
mereka sebut sebagai ahli-ahli bid’ah. Keberadaan tarekat yang dipimpin Safi
Ad-Din Ishak Al-Ardabily ini semakin signifikan setelah ia mengubah bentuk
tarekat itu dari hanya sebatas melakukan kegiatan pengajian tasawuf murni yang
bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syria, dan Anatolia.[10]
Adapun
mengenai asal-usul keturunan Safi Ad-Din Al-Ardabily, sampai sekarang masih
menjadi misteri yang kontroversial. Menurut sebuah sumber yang diperoleh dari
keluarga Safawi, Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily berasal dari keturunan orang
yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya.[11]
Ia adalah keturunan dari Musa Al-Kazim (Imam ke-7 dari kelompok Syi’ah Itsna
Asyariyah), sehingga ia termasuk keturunan Rasulullah melalui putrinya
Fatimah. Hasil pelacakan ini dikaitkan dengan pengklaiman mereka terhadap Safi
Ad-Din Ishak Al-Ardabily sebagai seorang yang bermazhab Syi’ah. Akan tetapi,
menurut pendapat P.M. Holt, Husain Muknas dan Sayed Ahmad Ibnu Zaini Dahlan,
Safi Ad-Din adalah keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa
Azari, bahasa Turki yang dipakai di Ajerbaizan. Safi Ad-Din Ishak Al-Ardabily
bukanlah penganut aliran Syi’ah, melainkan seorang Sunni yang diduga bermazhab
Syafi’i. Adapun penggantinya yang kedua sebagai pemimpin Safawiyah, yaitu
Khawaja Ali merupakan seorang penganut Syi’ah yang moderat.[12]
B.
Safawiyah
sebagai Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik
Berdasarkan
beberapa infromasi, Kerajaan Safawiyah berdiri secara resmi di Iran pada tahun
907 H/ 1501 M, yaitu pada saat Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja
atau syah di Tabrez.[13]
Sekalipun demikian, kejadian sejarah yang penting ini tidaklah berdiri sendiri.
Momen peristiwa berdirinya Safawiyah sebagai kerajaan sangat berkaitan dengan
peristiwa sebelumnya dalam jangka waktu yang cukup panjang, yaitu kurang lebih
dua abad, waktu yang hamper sama dengan usia Kerajaan Safawiyah. Selama dalam
rentang waktu yang panjang itu, embrio Safawi sejak masa Safi Ad-Din Ishak
Al-Ardabily berkembang lambat, tetapi secara pasti bergerak menuju saat-saat
yang bersejarah.[14]
Sejak
Safi Ad-Din mulai memimpin ribath dan mendirikan tarekat Safawiyah pada
tahun 13010 M samapi kepada Syah Ismail
memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawiyah pada tahun 1501 M, telah banyak
pengalaman dari keluarga Safawi dalam perjuangan menegakkan cita-citanya.
Selama dua abad itu, paling tidak terdapat dua tahapan perjuangan yang telah
dilalui mereka. Pertama, perjuangan menegakkan cita-citanya dalam
orientasinya sebagai sebuah gerakan keagamaan. Kedua, perjuangan
menegakkan cita-citanya setelah mengubahnya sebagai sebuah gerakan politik.[15]
Dalam
periode tahun 1301-1447 M/ 700-850 H, gerakan Safawiyah masih merupakan gerakan
murni keagamaan, dengan Tarekat Safawiyah sebagai medianya. Selama periode ini,
Safawiyah mempunyai jumlah pengikut yang besar sekali, tidak hanya di daerah
Persia, tetapi juga sampai ke daerah Syria dan Anatolia. Umumnya
pengikut-pengikutnya adalah dari suku-suku Turki yang masih nomad yang disebut
Turkman. Di antara suku-suku tersebut adalah Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir,
Takalu, Ashfar, dan Qajar.[16]
Dalam
periode pertama ini, gerakan Safawiyah tidak mencampuri masalah politik,
sehingga ia berjalan dengan aman, baik pada masa dinasti Ilkhan maupun pada
masa Timur Lenk. Konstilasi politik seperti pada masa dinasti Ilkhan dan Timur
Lenk dapat dikatakan sebagai masa yang paling suram dalam sejarah Islam
sehingga dapatlah dimengerti jika kehidupan tarekat sufi bisa tumbuh dan
mendapat simpati masyarakat banyak. Umat Islam pada masa ini, umumnya hidup
dalam keadaan apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk. Hanya
kehidupan keagamaan melalui sufisme, mereka bisa mendapatkan kekuatan mental
dalam menghadapi kehidupan. Hanya melalui persaudaraan di antara sesama Muslim.[17]
Menurut
P.M. Holt, selama periode pertama ini, gerakan Safawiyah mempunyai dua corak.
Tahap pertama bercorak Sunni, yaitu pada masa pimpinan Safi Ad-Din Ishak
(1301-1334 M) dan anaknya Sadr Ad-Din Musa (1334-1399 M). Selanjtnya, dalam
tahap kedua, pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Sadr Ad-Din Musa (1399-1427 M)
gerakan Safawi berubah corak menjadi Syi’ah.[18]
Ada kemungkinan terjadinya perubahan corak tersebut sinkron dengan bertambahnya
pengikut Safawiyah dari kalangan komunitas masyarakat Syi’ah, sehingga
pimpinannya berusaha mengadaptasikan diri dengan aliran mayoritas pengikutnya.
Selanjutnya,
dalam periode 1447 sampai dengan 1501 M, gerakan Safawiyah memasuki periode
kedua dalam perjuangannya, yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpinnya pada saat
itu, Al-Junaid Ibnu Ali melakukan arah perubahan menjadi sebuah gerakan politik
revolusioner, dengan Tarekat Safawiyah sebagai sarananya. Akibatnya, Safawi
mulai terlibat dalam konflik dengan kekuatan politik yang ada di Persia waktu
itu.[19]
Secara
kebetulan, saat itu di Persia terdapat dua buah kerajaan Turki yang berkuasa,
yaitu Kerajaan Kara Koyunlu (Domba Hitam) yang berkuasa di bagian Timur dan
Ak-Koyunlu (Domba Putih) yang berkuasa di bagian Barat. Kerajaan pertama
beraliran Syi’ah dan yang kedua beraliran Sunni.[20]
Karena kegiatan politiknya, pemimpin Safawiyah terpaksa meninggalkan Ardabil
karena mendapatkan tekanan dari raja Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu.
Junaid
kemudian meminta suaka politik kepada Raja Uzun Hasan di Diyar Bakr, seorang
penguasa dari Kerajaan Ak-Koyunlu. Meskipun pemimpin Safawi memiliki perbedaan
dalam aliran keagamaan dengan Ak-Koyunlu, karena memiliki persamaan dalam visi
politik, mereka tetap bersepakat untuk mengadakan semacam aliansi. Mereka
sama-sama menghadapi kekuatan Kerajaan Kara Koyunlu, penguasa daerah Persia dan
sebelah Timur daerah Bulan Sabit yang subur (Fertile Crescent). Aliansi
politik ini diperkuat lagi dengan perkawinan antara Junaid dan saudara Uzun
Hasan. Aliansi politik yang diperkokoh dengan sistem kekerabatan ini diperkuat
lagi dengan perkawinan antara Haidar putra Junaid (dalam perkawinannya dengan
sandara Uzun Hasan) dengan putri Uzun Hasan sendiri dari istrinya yang bernama
Despina Katrina, seorang putri Kaloo Johannis, raja kerajaan Kristen Trabuzun
di Pantai Timur Laut Hitam.[21]
Selama
dalam perlindungan Ak-Koyunlu, Safawiyah melakukan beberapa kegiatan politik,
baik semasa pimpinan Junaid maupun pada masa Haidar. Salah satunya, yaitu pada
tahun 1459 M, Junaid berusaha untuk menyerang Ardabil, walaupun mengalami
kegagalan. Ia pun berusaha untuk menyerang daerah-daerah utara yang didiami
oleh orang-orang Kristen Georgia dan Circasia, namun mengalami kegagalan yang
sama. Bahkan, ia bernasib tragis dengan tewas di tangan penguasa dari Syirwan
yang diserangnya pada tahun 1460 M.[22]
Haidar
Ibnu Junaid maju menggantikan ayahnya. Ia juga mengikuti jejak ayahnya untuk
menyerang daerah-daerah Kristen Utara, tetapi juga mengalami kegagalan.
Kecenderungan para pemimpin Safawiyah untuk melakukan penyerbuan ke
daerah-daerah tersebut bertujuan untuk mendapatkan sebuah tanah yang dapat
dijadikan sebagai tempat membangun kekuatan politik independen pada masa depan
karena selama ini para pemimpin Safawiyah merasa hanya sebuah dinasti politik
spiritual tanpa tanah air.
Meskipun
Haidar belum bisa mewujudkan cita-cita gerakan Safawiyah, ia sempat memberikan
suatu atribut kepada para pendukungnya dengan serban merah yang berumbai dua
belas sehingga terkenallah dengan sebutan Qizilbash atau serban Merah. Umbai
dua belas melambangkan Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Dua belas Imam) yang menjadi
panutan mereka. Atribut ini sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan fanatisme
kepada para pengikutnya dan sekaligus menigkatkan militansi mereka. Peranan
Qizilbash sangat besar dalam mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan
Kerajaan Safawiyah pada kemudian hari.
Setelah
Ak-Koyunlu berhasil menumbangkan Kerajaan Kara Koyunlu pada tahun 1476, aliansi
Safawi dengan Ak-Koyunlu menjadi goyah. Kemenagan Ak-Koyunlu tahun 1476 M
terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer Safawiyah yang dipimpin oleh
Haidar dipandang sebagai rival politik oleh penguasa Kerajaan Ak-Koyunlu dalam
meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, Safawiyah
adalah sekutu Ak-Koyunlu. Ak-Koyunlu berusaha untuk melenyapkan kekuatan
militer dan kekuasaan dinasti Safawiyah. Karena itu, ketika Safawi menyerang
wilayah Sirkasia dan pasukan Syirwan, penguasa Ak-Koyunlu mengirimkan bantuan
militer kepada Syirwan, sehingga Haidar kalah dan ia sendiri tewas dalam
peperangan itu.[23]
C.
Proses Berdiri
dan Pertumbuhan Kerajaan Safawiyah
Ketika
Haidar kalah pada saat menyerang ke wilayah Sirkasia oleh militer Syirwan dan
Ak-Koyunlu, Ali sebagai putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala
tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap
Ak-Koyunlu, tetapi Yakub pemimpin Ak-Koyunlu berhasil menagkap kemudian
memenjarakannya dan membuangnya ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya,
yaitu Ibrahim dan Ismail selama empat setengah tahun (1489-1493M).[24]
Situasi
ini mendorong para pengikut Safawi yang tersebar luas di Persia, Armenia,
Anatolia, dan Syria melakukan konsolidasi kekuatan sendiri. Menyiasati hal ini,
Raja Rustam, sebagai penguasa dari Kerajaan Ak-Koyunlu dengan alasan
kepentingan politik membantu menghadapi saudara sepupunya dalam mempertahankan
kedudukannya, kemudian melepaskan Ali.[25]
Setelah
berhasil memenuhi kepentingan Raja Rustam, Ali kembali ke Ardabil dengan penuh
kemenangan. Akan tetapi, keadaan ini tidak berjalan lama karena Ali kembali
ditangkap oleh Rustam dan dikirim ke Khoy. Ali dapat melarikan diri dan
berusaha kembali ke Ardabil, tetapi ia terus dikejar oleh tentara Ak-Koyunlu
yang berhasil membunuhnya. Sebelum Ali meninggal, ia sempat mengangkat adik
bungsunya yang masih berusia tujuh tahun, yang bernama Ismail Ibnu Haidar
menjadi pemimpin Safawi.[26]
Ismail
yang masih remaja itu berusaha memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah
dan pemimpin gerakan Safawiyah untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya.
Secara sembunyi-sembunyi, ia menjalin hubungan erat dengan para pengikutnya
yang tersebar luas di mana-mana. Hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia
berhasil menyatukan berbagai elemen kekuatan politik yang cukup besar, sehingga
ia mulai mengadakan perhitungan dengan musuh-musuh Safawiyah selama ini,
seperti penguasa Syirwan dan Al-Koyunlu yang telah membunuh beberapa orang
pemimpin Syafawi sebelumnya. Setelah berhasil membereskan Syirawan, di bawah
pimpinan Ismail pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang pasukan
Ak-Koyunlu, sehingga pecahlah perang yang sangat dahsyat antara keduanya di
Sharur dekat Nakhiwan, dengan kemenangan di pihak Safawi. Pada tahun itu juga,
Ismail dengan penuh kemenangan memasuki kota Tabrez, seraya memproklamasikan
berdirinya Kerajaan Safawi dan ia sendiri sebagai syah atau raja pertama serta
mendekritkan Syi’ah Itsna Asyariyah sebagai agama negaranya.[27]
Dengan
diperolehnya kemenangan dalam peperangan di Sharur, pada tahun 1501 Ismail
mulai memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawiyah. Dengan berdirinya
Kerajaan Safawiyah, kekuasaan Kerajaan Ak-Koyunlu berakhir di Iran. Iran telah
beralih dengan diperintah oleh Kerajaan Safawiyah.[28]
Peran
Ismail sebagai pendiri Kerajaan Safawiyah sangat besar. Ia adalah raja pertama
dari Kerajaan Safawiyah yang berperan sebagai peletak fondasi bagi tegaknya
kemajuan Safawiyah. Selama memerintah, ia telah memberikan sentuhan warna
tersendiri bagi Kerajaan Safawi dengan menetapkan Syi’ah sebagai agama negara.[29]Syah
Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi kerajaannya, yaitu perluasan
wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang “unik” pada masanya.
Selama
lebih kurang satu dasawarsa pertama dari pemerintahannya, Ismail berhasil
memperluas wilayah Kerajaan Safawiyah yang mencakup seluruh daerah Persia dan
sebelah Timur Fertile the Crescent. Prestasi besar ini diperolehnya
berkat keberaniannya di medan perang melawan musuh-musuhnya yang berhasil dikalahkannya.
Hal ini dapat terlihat dari beberapa rangkaian kronologis keberhasilan Syah
Ismail dalam mengalahkan musuh-musuhnya, seperti pada tahun 1502 M, ia berhasil
menduduki daerah Syirwan, Azerbaijan, dan Irak. Pada tahun 1503 M, ia berhasil
menghancurkan sisa-sisa tentara Ak-Koyunlu di Hamadan. Pada tahun 1504 M, ia
menduduki daerah Kasfia, Mazandaran, dan Ghurghan. Diyar Bakr dapat ditaklukan
pada tahun 1505 M. Kota Baghdad jatuh ke tangan kekuasaannya pada tahun 1508 M.
Kemudian, pada tahun 1510 M, ia berhasil menguasai wilayah Khurasan seluruhnya,
setelah terlibat pertempuran besar dengan Muhammad Syaibani Khan, seorang raja
Uzbek. Dengan kemenangan beruntun ini, Syah Ismail berhasil mewujudkan wilayah
Kerajaan Safawiyah terbentang luas, dari kota Heart di Timur, sampai daerah
Diyar Bakr di Barat.[30]
Karena
prestasinya di medan peperangan yang sangat menakjubkan, sebagai pahlawan yang
tak terkalahkan, ia dianggap oleh para pengikutnya, terutama di kalangan para
Qizilbash sebagai raja yang memiliki unsur ke-Ilahi-an. Bahkan, ia sendiri
pernah menganggap sebagai manifestasi Tuhan di muka bumi.[31]
Selanjutnya,
setelah keberhasilannya dengan kegiatan ekspansi wilayah, Ismail melakukan
perombakan terhadap struktur pemerintahannya. Pada awalnya, Syah Ismail langusng
memimpin seluruh aspek dari penyelenggaraan pemerintahannya dalam tangannya.
Seluruh kekuasaannya terpusat pada dirinya. Artinya, ia memegang kekuasaan
dalam bidang politik dan keagamaan. Dengan demikian, pemerintahan Safawi
benar-benar seperti suatu pemerintahan teokrasi karena syah dianggap sebagai
bayangan Tuhan di muka bumi. Selanjutnya, ia mulai mengubah struktur
pemerintahannya. Munculnya ide untuk melakukan perubahan terhadap struktur
pemerintahan yang diberlakukan Syah Ismail didasari oleh sikap frustasi setelah
mengalami kekalahan dari Sultan Salim I dari Kerajaan Turki Usmani dalam
peperangan di Calderan. Dalam pertempuran di Calderan, ia mengalami kekalahan,
sehingga beberapa daerahnya, termasuk ibukota Tabrez jatuh ke tangan Usmani. Ia
terpaksa menandatangani perjanjian damai dengan Sultan Salim. Rupanya kekalahan
ini telah meruntuhkan mitos ke-Ilahi-an Syah Ismail.[32]
Mengenai
sebab-sebab pecahnya peperangan di antara Kerajaan Safawiyah dengan Turki
Usmani adalah sulit untuk memisahkan antara faktor politik dengan
agama.Kebangkitan Kerajaan Safawi di Persia dianggap sebagai ancaman politik
bagi Kerajaan Turki Usmani di bagian timur wilayahnya. Di samping itu, penguasa
Safawi dengan penuh ambisi memaksa aliran Syi’ah kepada rakyat di daerah-daerah
yang baru ditaklukannya yang sebagian besar bermazhab Sunni. Bahkan, Syah
Ismail membunuh beribu-ribu ulama Sunni di daerah Irak. Sultan Turki sebagai
pendukung mazhab Sunni merasa terpanggil untuk menghadapi kekuatan Syi’ah
tersebut. Kedua faktor itulah yang menggiring kedua penguasa itu bertemu di
medan perang. Sebagai implikasinya, kekalahan dari pihak kerajaan Safawiyah ini
telah menimbulkan kekecewaan dan kesedihan bagi Syah Ismail. Sebagai
sublimasinya, ia banyak menenggelamkan dirinya dalam pesta minum yang
memabukkan. Selain itu, waktunya banyak dihabiskan untuk berburu. Dengan
demikian, ikatan keagamaan yang terbina selama ini antara Syah Ismail dengan
Qizilbash menjadi renggang.[33]
Syah
Ismail mulai melakukan perombakan dalam pemerintahannya dengan memerintah
secara tidak langsung. Ia mulai menghidupkan jabatan wakil-I nafs-I hamyun (Wakil
Syah) dan amir al-Umara (panglima perang). Wakil syah merupakan orang
kepercayaan syah dan bertanggung untuk merencanakan semua urusan Negara dan
agama. Jabatan ini dipegang oleh opsir-opsir dari suku Shamlu; suku pendukung
Qizilbash yang banyak berjasa besar dalam membantu Syah Ismail pada periode
pertama dari perjuangannya. Adapun kalangan tinggi bangsa Persia diberi jabatan
Wajir dan Sadr. Yang pertama menangani politik keagamaan. Pejabat
Sadr inilah yang melakukan propaganda secara intensif kepada rakyatnya
untuk mengikuti Syi’ah Dua Belas pada masa Syah Ismail. Dengan struktur
pemerintahan yang diciptakannya ini, Syah Ismail bermaksud agar roda
pemerintahan Safawi berjalan dengan baik, meskipun tidak langsung menanganinya.[34]
Pada
tahun 1524 M, Syah Ismail meninggal dunia. Dari periode tahun 1524 M sampai
tahun 1587 M di Kerajaan Safawiyah telah memerintah sebanyak tiga orang syah,
yaitu Syah Tahmasa (1524-1576 M), Syah Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad
Syah (1577-1587 M). Masa pemerintahan ketiga syah tersebut merupakan masa yang
tidak menggembirakan bagi perkembangan Kerajaan Safawiyah karena mereka
mempunyai kepribadian yang lemah, apalagi kedua syah terakhir. Oleh karena itu,
pada masa ini roda pemerintahan banyak dijalankan oleh tokoh-tokoh Qizilbash,
yang pada saat ditinggalkan Syah Ismail, telah bergeser loyalitasnya kepada
suku masing-masing tempat mereka berasal. Bahkan, selama itu pula, dikenal dua
periode pemerintahan efektif yang dipegang oleh Qizilbash. Pertama, tahun
1524 M s.d. 1533 M, secara berturut-turut pemerintahan dipegang oleh Triumvirat:
Suku Rumlu, Takallu, dan Ustajlu (1524-1527 M). Kemudian, dilanjutkan oleh Duumvirate:
Rumlu dan Takallu (1527-1530 M), serta terakhir oleh penguasa tunggal Shajlu
(1530-1533 M). Selanjutnya, periode kedua antara tahun 1579-1587 M, yaitu pada
masa akhir pemerintahan Syah Muhammad yang buta, kekuasaan dipegang oleh para
gubernur yang terdiri atas para pemimpin suku-suku Qizilbash, seperti Takkalu
di Qazwin, Ustajlu di Khurasan, Shamlu di Heart, dan lain-lain. Keadaan ini
terus berlanjut sampai muncul figur Abbas yang menandai akhir kekuasaan
Qizilbash. Pada masa Abbas (1587-1629 M), Kerajaan Safawi mengalami masa
kemajuannya.[35]
BAB III
A.
Simpulan
Ada
dua pendapat yang berbeda tentang etimologi atau asal-usul dari nama Safawi.
Amir Ali berpendapat bahwa Safawi berasal dari kata shafi, yaitu gelar
yang diberikan kepada nenek moyang raja-raja Safawiyah, yaitu Shafi Ad-Din
Ishak Al-Ardabily (1252-1334 M), seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Safawiyah. Ia menyatakan bahwa para musafir, pedagang, dan penulis Eropa selalu
menyebut raja-raja Safawiyah dengan gelar Shafi Agung. Adapun P.M. Holt
berpendapat bahwa Safawiyah berasal dari kata Safi, yaitu bagian dari
nama Safi Ad-Din Al-Ardabily. Meskipun ia tidak mengemukakan alasan, secara
gramatika bahasa Arab, pendapat inilah yang dipandang lebih tepat. Safi Ad-Din
dan nama Safawiyah ini akhirnya yang terus dipertahankan sampai tarekat ini
menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan
ini berhasil mendirikan kerajaan.
Dalam
periode tahun 1301-1447 M/ 700-850 H, gerakan Safawiyah masih merupakan gerakan
murni keagamaan, dengan Tarekat Safawiyah sebagai medianya. Selama periode ini,
Safawiyah mempunyai jumlah pengikut yang besar sekali, tidak hanya di daerah
Persia, tetapi juga sampai ke daerah Syria dan Anatolia. Umumnya
pengikut-pengikutnya adalah dari suku-suku Turki yang masih nomad yang disebut
Turkman. Di antara suku-suku tersebut adalah Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir,
Takalu, Ashfar, dan Qajar.Selanjutnya, dalam periode 1447 sampai dengan 1501 M,
gerakan Safawiyah memasuki periode kedua dalam perjuangannya, yaitu sebagai
gerakan politik. Pemimpinnya pada saat itu, Al-Junaid Ibnu Ali melakukan arah
perubahan menjadi sebuah gerakan politik revolusioner, dengan Tarekat Safawiyah
sebagai sarananya. Akibatnya, Safawi mulai terlibat dalam konflik dengan
kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu.
Ismail
yang masih remaja itu berusaha memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid Safawiyah
dan pemimpin gerakan Safawiyah untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya
setelah sebelumnya kakaknya Ali mengangkat Ismail (adiknya) untuk
menggantikannya. Secara sembunyi-sembunyi, ia menjalin hubungan erat dengan
para pengikutnya yang tersebar luas di mana-mana. Hanya dalam waktu kurang
lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan berbagai elemen kekuatan politik yang
cukup besar, sehingga ia mulai mengadakan perhitungan dengan musuh-musuh
Safawiyah selama ini, seperti penguasa Syirwan dan Al-Koyunlu yang telah
membunuh beberapa orang pemimpin Syafawi sebelumnya. Setelah berhasil
membereskan Syirawan, di bawah pimpinan Ismail pada tahun 1501 M, pasukan
Qizilbash menyerang pasukan Ak-Koyunlu, sehingga pecahlah perang yang sangat
dahsyat antara keduanya di Sharur dekat Nakhiwan, dengan kemenangan di pihak
Safawi. Pada tahun itu juga, Ismail dengan penuh kemenangan memasuki kota
Tabrez, seraya memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawi dan ia sendiri
sebagai syah atau raja pertama serta mendekritkan Syi’ah Itsna Asyariyah sebagai
agama negaranya.Dengan diperolehnya kemenangan dalam peperangan di Sharur, pada
tahun 1501 Ismail mulai memproklamasikan berdirinya Kerajaan Safawiyah. Dengan
berdirinya Kerajaan Safawiyah, kekuasaan Kerajaan Ak-Koyunlu berakhir di Iran.
Iran telah beralih dengan diperintah oleh Kerajaan Safawiyah.
B.
Saran
Alangkah
lebih baiknya, kita sebagai seorang manusia mengambil hikmah dari setiap
kejadian yang sudah berlalu untuk dijadikan semangat di kemudian hari. Salah
satu kejadian masa lalu adalah tentang Kerajaan Safawiyah. Kerajaan Safawiyah
ini sangat menarik dan banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Oleh karena
itu, bacalah makalah ini dan jadikan sumber rujukan untuk wawasan kita serta
ambillah hikmahnya dari setiap kejadian yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Syed Amir.
(t.t.).The Spirit of Islam. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I.
Allouche.
(1985).The Origins and Development of The Ottoman Safavid Conflict.
Michigan: University Microfilm International.
Brockelman,
Carl. (1944).History of The Islamic People, Terj. Joel Carmichael dan
Moshe Perlmaan. New York: Alien Property Custodian.
______________.
(1974).Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah. Beirut: Dar Al-Ilmu.
Hamka.(1981). Sejarah
Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, Philip
K. (1974).History of The Arabs. London: The Macmillan Press, 1974.
Holt, P.M., Ann
K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.). (1970).The Cambridge History of Islam
Vol. I. Cambridge: Cambridge at The University Press.
Jamilah,
Mariam. (1984).Para Mujahid Agung, Terj. Hamid Luthfi A.B. Bandung:
Mizan.
Kusdiana,
Ading. (2013).Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan. Bandung,
Pustaka Setia.
Muknas, Husain.
(1973).Alam Al-Islam. Mesir: Dar Al-Ma’arif.
Syalaby,
Ahmad.(t.t.). Mausuat At-Tarikh Al-Islamy, Juz VII. Kairo: Maktabah
Al-Nadhah Al-Mishriyyah.
Yatim, Badri.
(1997). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 138.
[2] Ading
Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung,
Pustaka Setia, 2013), hlm. 165.
[3] Mariam
Jamilah, Para Mujahid Agung, Terj. Hamid Luthfi A.B., (Bandung: Mizan,
1984), hlm. 49-1-9 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 166.
[4] Syed Amir Ali,
The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I, t.t.), hlm. 491 dalam
Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung,
Pustaka Setia, 2013), hlm. 168.
[5] P.M. Holt, Ann
K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.), The Cambridge History of Islam Vol. I,
(Cambridge: Cambridge at The University Press, 1970), hlm. 395; Perhatikan
juga pendapat yang sama yang dikemukakan Husain Muknas, Alam Al-Islam, (Mesir:
Dar Al-Ma’arif, 1973), hlm. 463 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 168.
[6] Badri Yatim, loc.
cit., hlm. 138 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 168.
[7] P.M. Holt
dkk., op. cit., hlm. 394 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[8] Allouche, The
Origins and Development of The Ottoman Safavid Conflict, (Michigan:
University Microfilm International, 1985), hlm. 96 dalam Ading Kusdiana, Sejarah
dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013),
hlm. 169.
[9] P.M. Holt
dkk., loc. cit.,hlm. 395 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[10] Hamka, Sejarah
Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), Cet. Keempat, hlm. 59-60. Dalam
Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung,
Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[11] Badri Yatim, loc.
cit., hlm. 138 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 169.
[12] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 170.
[13] Philip K.
Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press, 1974), hlm.
703.
[14] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 171.
[15] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 171.
[16] P.M. Holt
dkk,, loc. cit., hlm. 395.
[17] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 172.
[18] P.M. Holt
dkk., loc. cit., hlm. 396 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan
Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm.
172.
[19] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 172.
[20] Tentang
sejarah kedua kerajaan tersebut, yaitu Kara Koyunlu dan Ak-Koyunlu dapat
dilihat dalam Ahmad Syalaby, Mausuat At-Tarikh Al-Islamy, Juz VII, (Kairo:
Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyyah, t.t.), hlm. 766-775.
[21] P.M. Holt
dkk., loc .cit., hlm. 775 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan
Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm.
172-173.
[22] Carl
Brockelman, Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah, (Beirut: Dar Al-Ilmu, 1974),
hlm. 494 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Periode
Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 173.
[23] Badri Yatim, loc.
cit., hlm. 140.
[24] Badri Yatim, loc.
cit., hlm. 140.
[25] Badri Yatim, loc.
cit., hlm. 140.
[26] Husain Muknas,
loc. cit., hlm. 397 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 175.
[27]Husain Muknas, loc.
cit., hlm. 398 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 175.
[28] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 175.
[29] Menurut Carl
Brockelman tindakan Syah Ismail yang terpenting pada masa pemerintahannya
adalah kebijakannya di dalam menetapkan Syi’ah sebagai agama Negara yang baru
didirikannya. Tindakan ini bukan saja mempertegas perbedaan Kerajaan Safawi
dengan Kerajaan Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang pada umumnya
beraliran Sunni, tetapi juga telah memberikan suatu perasaan bersatu kepada
orang-orang Iran modern sebagai suatu Negara nasional. Lihat Carl Brockelman, History
of The Islamic People, Terj. Joel Carmichael dan Moshe Perlmaan, (New York:
Alien Property Custodian, 1944), hlm. 320-321 dalam Ading Kusdiana, Sejarah
dan Kebudayaan Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013),
hlm. 175-176.
[30] Ahmad Syalaby,
loc. cit., hlm. 778 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 176.
[31] P.M. Holt, loc.
cit., hlm. 401 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 176-177.
[32] Ading
Ksudiana, loc. cit., hlm. 177.
[33]P.M. Holt, loc.
cit., hlm. 401 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 177.
[34]P.M. Holt, loc.
cit., hlm. 402-403 dalam Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan
Islam-Periode Pertengahan, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 177-178.
[35] Ading
Kusdiana, loc. cit., hlm. 178-179.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar