Minggu, 22 Februari 2015

Sejarah Kebudayaan di Indonesia (Kesultanan Banten)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nama Banten dalam sumber lokal tercatat pada naskah Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1580 dan menyebutkan adanya sebuah tempat yang disebut Wahanten Girang yang dapat dihubungkan dengan nama Banten. Dalam Tambo Tulangbawang dari Primbon Bayah, serta berita Cina hingga abad ke-13, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Kota Banten awal mulai tumbuh sekitar abad ke-11 atau abad ke-12 Masehi. Ketika itu Banten diduga sudah menjadi pemukiman urban penting, yang dilengkapi dengan parit dan benteng. Masyarakat dalam pemukiman itu melakukan kegiatan kerajinan, dari pakian sampai tembikar, peleburan besi dan perunggu, perhiasan emas, dan manik-manik.[1]
Dalam perkembangannya Banten itu menjadi sebuah Kesultanan, Kesultanan Banten ini setahap demi setahap berupaya memperluas wilayah kekuasaan ke daerah sekitrnya yang dipandang dapat menguntungkan perrekonomian dan suatu waktu bisa membahayakan eksistensi mereka. Banten sebagai kota pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya Hasanuddin.[2]Dalam makalah ini, Kami akan membahasa mengenai Kesultanan Banten dalam konteks Proses berdirinya dan perkembangannya, sistem politiknya, dan peran serta ulama dalm kesultanan Banten.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Proses Berdiri dan Berkembangnya Kesultanan Banten?
2.      Bagaimana Sistem Politik dari Kesultanan Banten?
3.      Apa Kedudukan dan Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten?


C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Proses Berdiri dan Berkembangnya Kesultanan Banten.
2.      Untuk mengetahui Sistem Politik dari Kesultanan Banten.
3.      Untuk mengetahui Kedudukan dan Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten.


























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses Berdiri dan Perkembangan Kesultanan Banten
Peletak dasar nilai keislaman di kawasan Sunda ialah Nurullah dari Samudera Pasai. Beliau datang ke sana pada tahun 1525 atau 1526 atas penntah Sultan Demak (Trenggono). Kedatangan Nurullah atau SyarifHidayatullah atau Fatahilah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jatidi Jawa bagian barat itu dengan missi pertama penyebaran Islam (missi agama) dan kedua memperluas wilayah kekuasaan Demak (misi politik).Sesampainya di kota pelabuhan Banten ia segera menyingkirkanBupati setempat baru kemudian pada tahun 1527 Sunda Kelapa(pelabuhan tua) dapat direbutnya. Runtuhnya pelabuhan Sunda Kelapayang amat berharga bagi kerajaan Pajajaran Hindu itu kemudian sebagaiperingatan atas peristiwa bersejarah ini maka kota tersebut diberi namaJayakarta yang di abad ke-20 nanti terkenal dengan Jakarta.[3]
Pada awal abad ke-15 Masehi, di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong pemukiman orang-orang muslim. Saat itu Banten telah menjadi salah satu Bandar penting Kerajaan Sunda yang ibu kota kerajaannya terletak di dekat Kota Bogor sekarang. Selain Banten, beberapa Bandar penting Kerajaan Sunda pada awal abad ke-16, sebagaimana disebut oleh Tome Pires (1513) adalah Pondam (Pontang), Tamgaram (Tanara), Cheguide (Cigede), Calapa (Kalapa), dan sebagainya. Sebenarnya menjelang abad ke-16 beberapa Bandar yang terletak di utara Jawa seperti Gresik, Demak, dan Banten telah menjadi jalur dan pusat sosialisasi Islam di Jawa yang dilakukan oleh para wali. Penguasaan bandar-bandar ini merupakan upaya menuntaskan Islamisasi pantai utara Pulau Jawa.[4] Banten sebagai kota pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya Hasanuddin.[5]
Islamisasi Banten, menurut cerita tradisi sebagaimana disebutkan dalam berbagai babad, dilakukan oleh Syarif Hidaytullah (Sunan Gunung Jati) bersama 98 orang muridnya dari Cirebon yang datang ke Banten. Ia berusaha mengislamkan Banten Ilir dan berhasil (Ambary, 1995: 2). Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), hasil pernikahannya dengan Dewi Kawunganten, datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mula-mula mereka datang di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar yang kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin. Di lereng Gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin dianggap cukup, Sunan Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama Islam kepada penduduk negeri.[6]
Setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon, menurut Babad Banten, Islamisasi dilanjutkan oleh Hasanuddin dengan berdakwah daru satu daerah ke daerah lain, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Lor, sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan tugasnya itu, Hasanuddin bertemu kembali dengan ayahnya, yang kemudian membawanya pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah.[7] Dalam menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyambung ayam ataupun mengadu kesaktian.[8]Diceritakan bahwa dalam acara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak pembesar negeri, dua orang ponggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo disebut juga Ki Jongjo memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
Babad Banten selanjutnya menyebutkan bahwa usahs Islamisasi berhasil secara menakjubkan. Hasanuddin berhasil mengislamkan masyarakat Banten yang di dalamnya terdapat 800 orang resi (pertapa). Setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umum di Wahanten Girang (Banten Girang) pada tahun 1525, Hasanuddin atas petunjuk Sunan Gunung Jati, pada tanggal 8 Oktober 1526, memindahkan pusat pemerintahan Banten, yang tadinya berada di pedalaman Banten Girang (tiga kilometer dari Kota Serang), ke dekat pelabuhan Banten. Dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan posisi dalem (istana), benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Surasowan. Tempat ini kemudian menjadi ibu kota Kerajaan Banten sejak tahun 1526 Masehi.[9]
Pemilihan Surasowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten sebagai pusat administrasi politik kesultanan Islam, nampaknya didasarkan atas perimbangan antara lain karena Surasowan lebih mudah dikembangkan sebagai bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju, maka pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi Negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surasowan.Kesultanan Banten dirintis pendiriannya oleh tiga unsur kekuatan, yaitu kekuatan-kekuatan dari Cirebon, Demak, dan Banten sendiri sejak awal abad ke-16 Masehi. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri diberi nama Kesultanan Banten.[10]
Sebagai penguasa Islam baru di Banten ia bersikap sebagai bawahanDemak. Wilayah kekuasaannya meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon.Pada masanya usaha untuk menjarah Pakuan Pajajaran masih belumterencana hal ini karena disamping jangkauannya agak jauh dari pantaijuga disibukkan oleh usaha pembenahan kekuasaan barunya terutamadalam mengantisipasi masa transisi budaya dari Hindu ke Islam bahkanuntuk kepentingan ini ia harus berpindah-pindah tempat, kadang-kadangdi Banten kadang di Cirebon.Baru setelah Pangeran Pasareyan dijadikan vvakilnya di Cirebontugasnya sedikit berkurang. Pangeran Pasareyan hanya sebentar berkuasa,ia meninggal dalam usia yang relatif muda pada tahun 1552. Kematiannyamemaksa Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon untuk selama-lamanya.[11]
Adapun Banten dan Jayakarta penguasaannya diserahkan kepada putranyaHasanudin.Ada satu persoalan yang patut dipaparkan di sini ialah setelahpelabuhan Sunda Kelapa direbut Sunan Gunung Jati pada tahun 1527,orang Portugis yang telah mengadakan perjanjian dengan Sang Hyangdari Pajajaran tahun 1522 datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikanperkantoran dagang mereka tidak mengerti kalau daerah tersebut telahdikuasai oleh Islam. Terang saja kehadiran mereka disambut dengan kekerasan senjata.[12]
Hasanudin, penguasa kedua Banten, melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan pengaruh Islam. Banvak tindakan progresif yang ialakukan dalam rangka memberikan arah terhadap kesultanan yang barumuncul tersebut. Membangun tempat tempat ibadah (masjid agung Bantendan Pacinan) dan sarana pendidikan berupa pesantren di Sasunyatan(pengembangannya terjadi pada masa pemerintahan Maulana Yusuf)adalah karya nyata Maulana Hasanudin yang menumental terhadapgenerasi penerusnya.Tercatat kekuasaan Banten saat itu meliputi seluruh Banten,Jayakarta, Krawang, Lampung dan Bengkulu. Banten yang dulunya hanyamerupakan Kadipaten, pada tahun 1552 berubah menjadi negara bagianDemak dan Pangeran Hasanudin ditunjuk sebagai Sultannya bahkantatkala kesultanan Demak runtuh dan di ganti Pajang pada tahun 1568Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai kesultanan yangmerdeka dan indipenden tanpa terkait dengan penguasa Pajang.Pusat pemerintahan yang semula berada di Banten Girang dipindahkanke Banten Lor (Surosowan). Inisiatif Syarif Hidayatullah ini dimaksudkanagar secara politis dan ekonomis memudahkan hubungan antarapesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatra Barat, Selat Sunda dan Malaka.[13]
Pada sekitar tahun 1570 M Sultan pertama Banten wafat dandigantikan putra sulungnya, Pangeran Yusuf. Setelah meninggal MaulanaHasanuddin terkenal dengan nama anumertanya "Pangeran Saba Kingking"[14]Dibavvah kuasa Pangeran Yusuf, kharisma Banten naik selangkahlebih tinggi. Proses Islamisasi pun nampak tambah sempurna. Seluruhwilayah Banten, baik di pusat kota Banten Girang, Banten Surowowanmaupun daerah selatan telah mengikuti agama Islam, hal ini disebabkankarena Adipati Pucuk Umum (penguasa tertinggi Banten Hindu) telahmenyerahkan kekuasaanya kepada penguasa Islam.Pesantren Kasunyatan yang telah dirintis oleh Sultan Hasanuddindikembangkannya secara intensif sehingga mampu mengorbitkan kaderkaderagama yang handal dan bertanggungjawab. Salah satu karya nyatadari kegiatan ilmiah di pesantren Kasunyatan ialah sebuah Al-Qur'andengan tulisan tangan yang kini tersimpan di cungkup makam MaulanaYusuf. Masjid Agung Banten bukan saja sebagai sarana ibadah mahdahtetapi sifungsikan sebagai tempat dakwah dan bahsul masa'il ad-dien(diskusi problematika agama) bagi ulama-ulama saat itu.[15]
Dalam upaya perluasan wilayah Islam Maulana Yusuf, yang dicatatBabad Banten sebagai penguasa yang gagah perkasa dan memilikketrampilan ïstimewa dalam berperang, dengan dibantu prajurit dan tokohagama telah mampu meruntuhkan secara pasti kerajaan 'kafir' tuaPajajaran dan merebut Pakuan (Ibukota Kerajaan). Sukses besar lainnya yang dicapai selama ia berkuasa ialah perhatiannyaterhadap pertanian, langkah ini ternyata membuat peri kehidupan rakyat Banten menjadi lebih makmur. Waduk atau danau buatanyang disebut "Tasikardi" merupakan inisiatifnya untuk mengairipersawahan-persawahan sekaligus dimanfaatkan untuk kebutuhan istanadan kota sekitarnya.[16]
Maulana Yusuf wafat tahun 1580 dimakamkan di Pekalongan Gededekat Kasunyatan maka ia terkenal dengan nama anumertanuya "PangeranPanembahan Pekalongan Gede" atau "Pangeran Pasareyan".Meninggalnya Maulana Yusuf menimbulkan intrik politik di istanaBanten yang baru merambah kejenjang suksesinya. Pangeran Arya Jepara(adik Maulana Yusuf yang dididik di Jepara oleh Ratu Kalinyatat) datangke Banten untuk meminta supaya dirinya diangkat sebagai penggantisaudaranya sementara menunggu sampai pangeran pewaris tahta menjadidewasa. Saat itu usia Pangeran Muhammad (putra mahkota) baru 9 tahun.Akan tetapi Kadli dan pejabat besar istana lainnya memutuskanuntuk tetap menobatkan Pangeran yang masih belum dewasa itu sebagiSultan Banten untuk mengganti ayahnya. Adapun masalah jalannyapemerintahan sepenuhnya diperwalikan kepada Mangkubumi sampai sangPangeran dewasa.
Merasa kehendaknya tidak terkabul, maka tersinggunglah PangeranArya Jepara dan terjadilah bentrokan senjata antara kedua belah pihak.Dalam pertempuran itu Pangeran Jepara kalah dan akhirnya ia kembali ke Jepara dengan tangan hampa.[17]Setelah dewasa Maulana Muhammad terkenal sebagai seorang yangshalih dan memiliki ghirah yang kuat untuk menyebarluaskan Islam, iabanvak mengarang kitab serta membangun sarana-sarana ibadah sampaike pelosok desa. Menjadi imam dan Khatib adalah kebiasaannya.Walaupun kemajuan yang diperoleh Maulana Muhammad tidaksetinggi ayahnya namun ada suatu peristiwa menonjol yang terjadi padamasa kekuasaannya, yaitu penyerbuan atas Palembang. Ekspedisipenyerangan ini bermula dari bujukan Pangeran Mas (putra Aria Tangin)yang berambisi menjadi raja di Palembang untuk menganeksasi daerahtersebut sebagai upaya perluasan daerah Islam. Sayang dalam pada ituSultan Banten yang relatif masih muda itu gugur di medan tempur padatahun 1596 dengan meninggalkan seorang pewaris tahta yang baru berusia 5 bulan.[18]
Pengganti Maulana Muhammad putranya Sultan Abdul MufakhirMahmud Abdul Kadir (1596-1651). Karena saat penobatannya sebagaiSultan Banten keempat ia masih balita. maka untuk yang kedua kalinyakesultanan Banten diserahkan kuasanya (sebagai wali) kepadaMangkubumi Jayanegara, ia termasuk abdi yang memiliki loyalitas tinggisehingga ketika Banten berada dalam kuasanya. Baik periode MaulanaMuhammad maupun periode Abdul Mufakhir tetap dalam kondisi stabildan tenteram.Semenjak Mangkubumi Jayanegara wafat tahun 1602, suasanaBanten mulai dirundung oleh kemelut yang menyeret kelembah kesuraman. Iri dan ambisi mewarnai pangeran-pangeran Banten - mereka mulaibertindak sendiri-sendiri - kontrol pun terasa mulai mengendor.Pemberontakan bermunculan di sana-sini sehingga boleh dikatakan periodeini merupakan periode terburuk bagi Banten saat itu.Diluar istana (pada sisi lain) pengaruh Asing mulai terasa akibatkebijaksanaan-kebijaksanaan Mangkubumi (pengendali kesultanan)pengganti Jayanagara, yakni ayah tiri Pangeran sendiri yang begitu terbukaterhadap mereka.
Suasana bertambah mendung, kekacauan terus memperburukkeadaan. Mangkubumi sudah tidak mampu lagi mengendalaikan danmengantisipasi keadaan, kekuasaannya hanya sebatas lingkup istana,sedangkan di luar istana para pangeranlah yang berkuasa. Keadaan sepertiini berawal dari kehadiran Mangkubumi yang memancing rasa curigadan iri hati beberapa pangeran lain yang akhirnya pengkhianatan punterjadi dimana-mana.Aksi pengkhianatan itu berhasil melumpuhkan Mangkubumi danmembunuhnya. Terbunuhnya Mangkubumi ini bukan berarti menghentikankemelut yang merundung Banten, akan tetapi justru menarikminat dan ambisi untuk menduduki jabatan terhormat tersebut atau bahkanmerebut sama sekali tahta kesultanan Banten. Sikap demikian iniditunjukkan oleh Pangeran Kulon (cucu Maulana Yusuf) yang di bantupangeran Singaraja dan Tubagus Prabangsa yang berambisi mendudukitahta kesultanan.
Aksi pemberontakan bisa dipadamkan berkat kerja sama antarapasukan Sultan, pasukan Pangeran Ranumanggala dan bantuan PangeranJayakarta dan berakhir dengan perdamaian.Sebagai pengganti jabatan Mangkubumi diangkatlah Pangeran AryaRanumanggala (putra Maulana Yusuf dari isteri selir). Setelah memangkujabatan ia segera mengadakan penertiban-penertiban, baik keamanandalam negeri maupun merekonstruksi kebijaksanaan Mangkubumisebelumnya terhadap pedagang-pedagang Eropa. Pajak ditingkatkanterutama untuk Kompeni. Tindakan ini diambil agar para pedagang Asingenyah dari bumi Banten karena ia telah menangkap maksud-maksudmereka yang bukan hanya berniaga tetapi hendak mencampuri urusandalam negeri.Tindakan tegas Arya Ranumanggala ini akhirnya memaksa Kompeniuntuk memalingkan orientasi niaganya ke Jayakarya. Di Jayakarta merekadisambut ramah oleh Pangeran Wijayakrama dengan suatu dalih kedatanganmereka akan meramaikan pelabuhan Sunda Kelapa yangnantinya mampu mengimbangi pelabuhan Banten.[19]
Melihat hubungan intim Pangeran Jayakarta dengan Kompeniterusiklah hati Mangkubumi Arya Ranumanggala sebagai pemegangkendali Banten yang membawahi Jayakarta untuk menghancurkanbenteng-benteng asing baik Belanda maupun Inggris yang ada dikawasanBanten. Maka diutuslah Pangeran Upapatih untuk mengemban amanatini. Dalam pada itu orang-orang Inggris dapat didesaknya hingga kembalike kapal mereka selanjutnya pasukan juga bisa mendesak Belanda,sementara Belanda tetap defensif dan tidak mau menyerah. bantuan dariMaluku tiba.Setelah bantuan itu datang (dipimpin J .P. Coon) pada bulan Maret1619 kepungan prajurit Banten tak ada artinya lagi dan mereka kembalidengan membawa kekecewaan. Saat itulah secara resmi Jayakarta dikuasaioleh Kompeni dan dirubah namanya menjadi Batavia. Sejak peristiwa itu kontak senjata antara Banten dengan Kompeniagak tenang, walaupun secara kecil-kecilan masih tetap berlanjut.
Halini disebabkan karena faktor intern istana; peralihan kekuasaan dariMangkubumi Arya Ranumanggala ( sebagai wali Sultan selama belumdewasa ) kepada Sultan Abdul Mufakhir yang sudah menjadi dewasaserta adanya usaha Mataram untuk menganeksasi Banten melaluiperantaraan Cirebon. Kontak senjata antara Banten-Cirebon yang terjaditahun 1650 yang kemudian terkenal dengan "peristiwa Pagarage" atau"peristiwa Pacerebonan"' walau dapat dimenangkan fihak Banten namuncukup membuat Banten mencurahkan segala perhatiannya. Kontak senjata antara Banten-Kompem menjadi aktif kembali setelahSultan Ageng Tirtayasa menggantikan kakeknya yang meninggal padatahun 1651. Ia berkuasa di Banten (Sorosowan) mulai tahun 1651-1676setelah itu karena ada perbedaan dengan putranya Sultan Haji ia terpaksapindah ke Tirtayasa dan menyusun kekuatan di sana untuk mengadakanpenyerangan terhadap Kompeni.
Keadaan Banten semenjak diperintah Sultan Ageng Tirtayasa lebihbaik lagi, baik di bidang politik, sosial budaya, terutama perekonomiannya.Dalam bidang perdagangan Banten mengalami perkembangan yang pesat.Hubungan dagangnya dengan Persia, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan China cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia. Sebagai seorang yang taat dalam beragama ia sangat antipati kepadaBelanda. Penyerangan secara gerilya beliau lancarkan melalui darat danlaut untuk mematahkan kubu pertahanan Belanda yang bermarkas diBatavia.[20] Aksi teror dan sabotase yang diarahkan kepada kapal-kapal dagangKompeni merupakan kendala yang sangat membahayakan bagi Belanda.
Kurang lebih dua puluh tahun lamanya Banten merasakan suasanaaman dan tentram dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa menjadiberubah setelah putra sulungnya Sultah Abu Nas'r Abdul Kahar atauSultan Haji kembali dari tanah suci (1676) sebab ia lebih berpihak kepadaKompeni dibanding orang-orang yang dekat dengan ayahnya. Ia semakinmudah dipengaruhi Kompeni, model hidupnya pun mencerminkankehidupan orang Eropa pada umumnya. Konsekuensinya rakyat jadikorban.
Pada tahun 1680 Sultan Ageng Tirtayasa benar-benar mengalamikesulitan sebab putranya telah membelokkan serta memotong politiknya.Akhirnya karena dirasa sulit untuk meluruskan jalan pikiran anaknyayang telah terseret negosiasi yang dilakukan Kompeni ia memutuskanuntuk hijrah ke Tirtayasa dan membentuk front di sana beserta pengikutsetianya. Karena itulah nama Abu Fath Abdul Fattah terkenal dengansebutan Sultan Ageng Tirtayasa.[21]Akan tetapi bagaimanapun sulitnya (harus berhadapan denganputranya sendiri), ia tetap tegar pada pendiriannya. Ia beserta parapengikut setianya terus melancarkan serangan kepada Kompeni yang kianintensif pengaruhnya terhadap istana Surosowan. Pada 27 Pebruari 1682, Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa baru berhenti setelah ia ditangkapdan dipenjarakan oleh Kompeni sampai wafatnya tahun 1692.Dengan ditanda tanganinya perjanjian antara Kompeni dan SultanHaji pada Agustus 1682, maka kekuasaan mutlak Sultan Banten atasdaerahnya berakhir, sedang penguasa sebenarnya adalah Kompeni. Sultandi sini hanya simbol belaka.Pengauruh Belanda semakin terasa intensif setelah Daendelesmenganeksasi Banten pada tahun 1808. Sultan dan alat-alat politiknyadipertahankan akan tetapi berada dibawah pengawasan ketat pemerintahBelanda. Para penguasa Banten diperbolehkan menggunakan gelarSultannya, akan tetapi hakekatnya mereka hanya boneka belaka, sebabBanten sudah termasuk ke dalam wilayah Belanda.[22]
B.     Sistem Politik Keslutanan Banten
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sinimempunyai otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atassegala urusan, baik politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atasjabatan Sultan ditetapkan berdasarkan warisan.Dalam melaksanakan tugasnya (bidang administratif pemerintahan)Sultan dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa pejabat bawahannya;mereka ini terdiri dari golongan elite yang kebanyakan bukan golonganpangeran atau kaum bangsawan lain. Adapun khusus untuk kerabat Sultanatau kaum bangsawan menempati strata lebih rendah di bawah Sultandan lebih tinggi di atas pejabat administratif.[23]
Untuk urusan birokrasi pusat dikepalai oleh seorang patih (wazirbesar) yang dibantu dua orang kliwon yang juga disebut Patih, sedangpengadilan dan keagamaan diserahkan kepada Fakih Hajamuddin.Setingkat di bawahnya adalah para punggawa yang menangani bidangadministrasi dan pengawasanterhadap perekonomian negara. Syahbandaradalah pejabat negara yang ditugasi untuk mengawasi perdangan luarnegeri di kota-kota pelabuhan. Sejajar dengan pejabat-pejabat di kotakotapelabuhan ialah para kepala daerah.[24]Untuk mencermati perjalanan sejarah perpolitikan kerajaan Banten,internal maupun eksternal marilah kita simak fase-fase berikut ini.
1.      Fase Perintisan
Pada mulanya penaklukan atas Banten oleh Syarif Hidayatullahtahun 1525 atau 1526 hanya bermotifkan politik, perluasan wilayahDemak dan penyebaran agama Islam dikawasan Jawa Barat yang masihberada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Pajajaran akan tetapi setelahSunan Gunung Jati pindah ke Cirebon dan Banten diserahkan kepadaputranya, Maulana Hasanuddin, Banten diberi hak penuh untuk membentukkesultanan bawahan Demak dengan Maulana Hasanudin sebagaisultan pertamanya bahkan tatkala kekuasaan Demak pindah ke Pajang(Jaka Tingkir) Banten yang dependen pada Demak diproklamasikan olehSultan Maulana Hasanuddin sebagai kesultanan yang independen.
Selama 18tahun lamanya ia berkuasa di Banten(1552-1570)banyaksekali kemajuan yang dicapai. Pusat pemerintahan yang dulunya BantenGirang karena kepentingan strategi politik dan perdagangan ia pindahkanke Surosowan. Kekuasaan Banten saat itu meliputi seluruh Banten,Jayakarta, Krawang, Lampung dan Bengkulu. Ini suatu bukti bahwaBanten yang baru saja tampil di permukaan telah memiliki sistem politikyang bagus.[25]
2.      Fase Perkembangan
Fase ini diwarnai dengan tampilnya Maulana Yusuf menggantikanayahnya. Berada di bawah kuasanya BAnten memperoleh popularitas dangengsi yang tinggi di percaturan politik. Kerajaan Hindu Pajajaran yangmerupakan simbol kejayaan Pasundan saat itu bisa diruntuhkan olehkekuatan Maulana Yusuf yang bahu membahu dengan ulama. Dengandemikian maka lingkup kekuasaan Banten menjadi semakin luas.[26]
3.      Fase Krisis Politik dan penuh intrik
Meninggalnya Maulana Yusuf tahun 1580 merupakan awalterjadinya intrik politik di lingkungan istana, sebab ketika beliau wafatputra mahkota Pangeran Muhammad baru berusia 9 tahun. Momentumini dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Jepara (adik Maulana Yusuf) untukmenampilkan dirinya sebagai pengganti kakaknya. Ia menuntut kepadapembesar kerajaan Banten untuk menobatkan dirinya sebagai penguasaBanten sampai pangeran yang berwenang mencapai dewasa. Karenakehendaknya tidak dikabulkan kadli sebagai wali Sultan maka pertempuranpun tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran ituPangeran Jepara dan prajuritnya kalah, akhirnya ia kembali ke Jeparadengan tangan hampa.Setelah intrik politik yang ditimbulkan Pangeran Arya Jepara usai,suhu politik Banten mengalami perubahan yang serius; musyawarah kadlimemutuskan sebagai pelaksana pemerintahan darurat sementara menungguusia Sultan dewasa adalah Mangkubumi.
Perubahan sistem ini kemudian membawa pengaruh yang besar bagiperjalanan politik di kesultanan Banten karena bagaimanapun tampilnyaMangkubumi sebagai pucuk pelaksana pemerintahan telah memancingrasa cemburu dan iri keluarga bangsawan, terutama kalangan pangeran.Suasana politik Banten menjadi semakin suram setelah gugurnyaMaulana Muhammad dalam ekspedisi penyerangan Palembang dalamusia yang relatif muda. Karena putra mahkota masih 5 bulan usianya,maka untuk yang kedua kalinya kendali pemerintahan Banten dipegangoleh Mangkubumi.Secara otomatis jabatan mangkubumi menjadi incaran, banyakpangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi itu. Sebagaiakibatnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan disana-sini yangmembuat situasi politik menjadi melemah.
Upava ekspansi tidak mungkin bisa dilaksanakan saat itu karenauntuk menyelesaikan persoalan intern sendin cukup banvak menyita waktusementara di luar istana Kompeni dan orang Eropa lainnya mulai bersiapuntuk memasang politik adu dombanya.Yang sangat tragis (akibat suhu politik yang tidak sehat) ialahJayakarta, yang merupakan pelabuhan andalan, terpaksa jatuh ketanganBelanda pada tahun 1619.[27]
4.      Fase Rekonstruksi
Naik tahtanya Sultan Ageng Tirtayasa sebagai Sultan Bantenmenggantikan kakeknya Sultan Abdul Mufakhir merupakan angm segarbagi kehidupan politik di Banten.Pembenahan ke dalam serta penataan aparatur pemerintahan secaratertib adalah langkah awalnya untku mengembalikan Banten menjadikesultanan yang berwibawa, terutama di mata Kompeni yang mulai beranimacam-macam di Banten. Setelah itu baru diantisipasi faktor-faktor lainyang seolah-olah menjadikan Banten lumpuh tak berdaya. Jawaban yangditemukan ialah adanya penetrasi dan infiltrasi orang asing di bumiwarisan Sunan Gunung Jati. Karenanya jika Banten ingin mempunyaipengaruh yang kuat sebagaimana periode-periode awal, maka harusmampu mengusir Kompeni dari wilayah Banten.
Segera Sultan yang anti campur tangan asing itu melancarkanserangan-serangannya terhadap Kompeni. Teror sabotasi dan gerilyaadalah taktik strategi politiknya untuk membuat repot Belanda. Kontaksenjata antara kedua belah pihak baik di darat maupun di laut seringterjadi tanpa dapat dihindari sehingga amatlah wajar apabila Belandamengangap Banten saat itu sebagai musuh yang amat berat.[28]
5.      Fase Lepasnya Kesultanan Banten Dianeksasi Belanda
Sistem perlawnan Sultan Ageng Tirtayasa v ang sudah mulai menciutnyali Belanda akhirnya mendapat hambatan setelah anaknya Sultan Hajiyang baru saja tiba dari tanah suci memotong arah politiknya sertakompromi dengan Kompeni untuk menghancurkan ayahnya sendiri.Kerjasama antara Sultan Haji dengan Kompeni akhirnya bisa memadamkanperlawanan-perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutsetianya akhirnya ditangkap dan dipenjarakan kompeni hingga wafatnyatahun 1692.Surutnya perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dan naik tahtanyaSultan Haji pada dasarnya adalah kemenangan Kompeni vang berhasilmengadu domba antara dua Sultan yang bertalian darah. Terlebih setelahditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji dengan Kompeni (1682)maka Banten betul-betul menjadi kekuasaan Kompeni sebab Sultan hanyasimbol belaka.[29]
6.      Fase Perlawanan Rakyat yang dipelopori Ulama
Setelah Banten dikuasai Kompeni, sementara sultan tidak bisaberbuat apa-apa kecuali menuruti kebijaksanaan Kompeni maka muncullahpergerakan perlawanan serta pemberontakan yang terjadi di seluruhpelosok Banten yang tidak puas terhadap Belanda yang telah mencaplokhak asasi rakyat Banten.Rata-rata pimpinan pergerakan perlawanan itu adalah ulama (eliteagama) seperti Kiai Wakhia, Kiai Wasyid dan lain-lain. Mereka itulahyang menyadarkan umat untuk merebut harga diri dan hak asasi rakyatBanten yang dirampas orang-orang kafir dari dunia Barat.[30]
C.     Kedudukan dan Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten
Kedudukan sultan-sultan Banten diakui bukan saja sebagai kepalapemerintahan yang memiliki otoritas tertinggi tetapi juga sebagai kepalaagama di wilayahnya dengan demikian maka lembaga-lembagakeagamaan mendapat perhatian, pengakuan serta perlindungan penuh darisulta, terutama ulamanya. Mereka termasuk kelompok kelas elite yangmemiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan ataupunmasyarakat.Tidak sedikit kaum ulama yang ditempatkan di posisi terhormatsebagai suatu sistem dalam kerangka umum administrasi negara, baikpusat maupun di tingkat lokal (daerah) disamping kelas administrasisekuler bahkan terdapat suatu lembaga tinggi pemenntah yang secaraspesifik pengelolaannya diserahkan kepada kaum ulama yaitu "MahkamahAgung" dengan gelar resminya Fakih Hajamuddin.
Disamping kaum elite agama yang terlibat langsung dalam kerangkasistem administrasi pemerintah juga terdapat kelas elite agama partikelir(tidak memiliki kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan) mereka jugamendapat perlindungan dan Sultan.Melihat kedudukan ulama begitu terhormat, bukan saja sebagai kaumrohaniawan tetapi juga menduduki jabatan tinggi pemerintahan, makaperanannya pun dalam ikut serta menjaga stabilitas dan harmonisasipemerintahan sangatlah besar.
Ketika terjadi peristiwa penyerbuan atas Pakuan Pajajaran Hindupada masa pemerintahan Maulana Yusuf, peran ulama sangat besar, bukansaja sebagai pemberi spirit tetapi juga terlibat dalam pertempuran.Suasana harmonis antara ulama dan umara’ Berjalan dari masakemasa hingga terjadinya aneksasi Belanda atas Banten. Kesempatanulama (kaum elite agama) untuk berpartisipasi dalam soal-soal kebijaksanaanpemerintah sudah tidak ada peluang, semuanya sudah diatur olehBelanda. Peranan Pejabat-pejabat agama seperti penghulu, personil masjidsemakin dipersempit dan bahkan banvak didudukan pejabat-pejabat biasadengan pengawasan ketat dan pemenntah Belanda. Pembatasan terhadapjama'ah haji juga dilakukan. tetapi jumlah peserta dalam setiap tahunnyaterus meningkat. Sebagai akibat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yangmendiskreditkan kaum elite agama (ulama) itu serta adanya pemnnatanhak asasi rakyat, maka bangkitlah ulama-ulama Banten untuk mengadakanperlawanan terhadap Kompeni Belanda.[31]






















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pada awal abad ke-15 Masehi, di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong pemukiman orang-orang muslim. Saat itu Banten telah menjadi salah satu Bandar penting Kerajaan Sunda yang ibu kota kerajaannya terletak di dekat Kota Bogor sekarang. Selain Banten, beberapa Bandar penting Kerajaan Sunda pada awal abad ke-16, sebagaimana disebut oleh Tome Pires (1513) adalah Pondam (Pontang), Tamgaram (Tanara), Cheguide (Cigede), Calapa (Kalapa), dan sebagainya. Sebenarnya menjelang abad ke-16 beberapa Bandar yang terletak di utara Jawa seperti Gresik, Demak, dan Banten telah menjadi jalur dan pusat sosialisasi Islam di Jawa yang dilakukan oleh para wali. Penguasaan bandar-bandar ini merupakan upaya menuntaskan Islamisasi pantai utara Pulau Jawa. Banten sebagai kota pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya Hasanuddin.
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sinimempunyai otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atassegala urusan, baik politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atasjabatan Sultan ditetapkan berdasarkan warisan.Dalam melaksanakan tugasnya (bidang administratif pemerintahan)Sultan dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa pejabat bawahannya;mereka ini terdiri dari golongan elite yang kebanyakan bukan golonganpangeran atau kaum bangsawan lain. Adapun khusus untuk kerabat Sultanatau kaum bangsawan menempati strata lebih rendah di bawah Sultandan lebih tinggi di atas pejabat administratif.Untuk urusan birokrasi pusat dikepalai oleh seorang patih (wazir besar) yang dibantu dua orang kliwon yang juga disebut Patih, sedang pengadilan dan keagamaan diserahkan kepada Fakih Hajamuddin. Setingkat di bawahnya adalah para punggawa yang menangani bidang administrasi dan pengawasanterhadap perekonomian negara. Syahbandar adalah pejabat negara yang ditugasi untuk mengawasi perdangan luar negeri di kota-kota pelabuhan. Sejajar dengan pejabat-pejabat di kotakota pelabuhan ialah para kepala daerah. Untuk mencermati perjalanan sejarah perpolitikan kerajaan Banten, internal maupun eksternal marilah kita simak fase-fase berikut ini.
1.      Fase Perintisan
2.      Fase Perkembangan
3.      Fase Krisis Politik dan penuh intrik
4.      Fase Rekonstruksi
5.      Fase Lepasnya Kesultanan Banten Dianeksasi Belanda
6.      Fase Perlawanan Rakyat yang dipelopori Ulama
Kedudukan sultan-sultan Banten diakui bukan saja sebagai kepala pemerintahan yang memiliki otoritas tertinggi tetapi juga sebagai kepala agama di wilayahnya dengan demikian maka lembaga-lembaga keagamaan mendapat perhatian, pengakuan serta perlindungan penuh dari sulta, terutama ulamanya. Mereka termasuk kelompok kelas elite yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan ataupun masyarakat. Tidak sedikit kaum ulama yang ditempatkan di posisi terhormat sebagai suatu sistem dalam kerangka umum administrasi negara, baik pusat maupun di tingkat lokal (daerah) disamping kelas administrasi sekuler bahkan terdapat suatu lembaga tinggi pemenntah yang secara spesifik pengelolaannya diserahkan kepada kaum ulama yaitu "Mahkamah Agung" dengan gelar resminya Fakih Hajamuddin.












DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Nina Herlina dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda Jilid 1.Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Yahya, M. Harun. (1995).Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.

Graaf, H.J. De. (1986).Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa. terj. Grafiti Pers & KILTV. Jakarta: Grafiti Pers.

Ambary, Hassan Muarif dkk. (1988).Sejarah Banten dari Masa ke Masa. Serang: t.p.




[1] Nina Herlina Lubis dkk., Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 203-205.
[2]Ibid., hlm. 210.
[3]M. Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 33.
[4] Nina Herlina Lubis dkk., op. cit., hlm. 210 .
[5]Ibid., hlm. 209.
[6]Ibid., hlm. 211.
[7]Ibid., hlm. 211.
[8]Ibid., hlm. 211.
[9]Ibid., hlm. 212.
[10]Ibid., hlm. 212.
[11]M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 33-34.
[12] H.J. De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa, terj. Grafiti Pers & KILTV,(Jakarta: Grafiti Pers, 1986), hlm. 148 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 34.
[13] Hassan Muarif Ambary dkk., Sejarah Banten dari Masa ke Masa, (Serang: t.p., 1988), hlm. 14-19 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 34.
[14] H.J. De Graaf, op. cit., hlm. 152 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 35.
[15] Hassan Muarif Ambary dkk., op. cit., hlm. 21 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 35.
[16] H.J. De Graaf, loc. cit., hlm. 152 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 35.
[17] H.J. De Graaf, loc. cit., hlm. 153-154 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 35-36.
[18] Hassan Muarif Ambary dkk., loc. cit., hlm. 31-32 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 36.
[19] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 36-39.
[20] Sartono Kartodirdjo dkk., Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Depdikbud, 1975), hlm. 361 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 39.
[21] Suasana perbedaan persepsi antara Sultan Haji (sebagai anak) dengan Sultan Ageng Tirtayasa (sebagai ayah) di sini ialah merupakan hasil nyata politik Kompeni yang memecah belah (devide et impera) Negara.
[22] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 39-40.
[23] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 40.
[24] Hassan Muarif Ambary dkk., loc. cit., hlm. 98 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 40.
[25] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 41.
[26] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 41.
[27] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 41-42.
[28] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 42-43.
[29] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 43.
[30] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 43.
[31] M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 44.