Minggu, 22 Februari 2015

Sejarah Islam Sunda (Kerajaan Salakanagara)



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Hingga saat ini, kalau kita membicarakan kerajaan tertua di Indonesia, nama yang muncul selalu kerajaan Kutai dari Tarumanagara. Kutai sebenarnya bukan nama kerajaan tertua, melainkan nama daerah (sekarang) tempat kira-kira kerajaan tertua itu terletak. Sebaliknya, Tarumanagara memang nama kerajaan yang terletak di daerah Jawa Barat. Dengan demikian, jika kita dapat menyebutkan kerajaan Tarumanagara, di pihak lain kita “terpaksa” harus menyebutkan kerajaan di Kutai.[1]
Untunglah beberapa tahun yang lalu ditemukan sejumlah naskah tua yang ternyata merupakan satu kesatuan. Berdasarkan keterangan yang terdapat pada jilid terakhir naskah itu dapat diketahui bahwa naskah itu seluruhnya terdiri atas 25 jilid (sebenarnya 26 jilid, karena jilid terakhir yang merupakan daftar pustaka dibuat rangkap dua). Nama seluruh naskah itu, sebagaimana dituliskan sendiri oleh para penyusunnya adalah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’. Kumpulan naskah itu terbagi ke dalam lima parwa ‘bagian’, dan setiap parwa terdiri atas lima sarga ‘bab’. Naskah yang ternyata merupakan naskah “sejarah” itu disusun di Cirebon oleh panitia yang diketuai oleh Pangeran Wangsakerta, yaitu Abdulkadir Muhammad Nasaruddin sebagai Panembahan Carbon, antara tahun 1677 dan 1698 Masehi.[2]
Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’ masih diteliti oleh para ahli sejarah karena adanya Ketidaksepakatan para ahli tentang isi naskah ini.[3] Namun, Jika kebenaran naskah itu dapat dipercaya, akan dapat diketahui bahwa banyak sekali hal dalam sejarah kita yang selama ini masih belum jelas, dalam naskah itu diuraikan dengan jelas. Nama kerajaan di Kutai itu, misalnya, disebutkan Bakulapura, sedangkan nama dua orang tokohnya, yaitu Kundungga dan Aswawarman sebagaimana kita kenal dalam prasasti, juga ditemukan dalam naskah itu. Hanya, jika tafsiran kita atas prasasti itu selama ini menyimpulkan bahwa Aswawarman anak Kundungga, naskah itu menyebabkan bahwa Aswawarman adalah menantu Kundungga. Aswawarman sendiri berasal dari Salakanagara, kerajaan “perintis” Tarumanagara, sebagai anak Dewawarman VIII.Naskah itu juga menyebutkan nama beberapa kerajaan Tarumanagara muncul. Dua nama yang terpenting adalah Salakanagara dan Jayasinghapura. Di samping itu masih ada nama Agrabinta dan Hujungkulwan. Nama Agrabinta barangkali sekarang masih tertinggal pada nama yang sama, Agrabinta di daerah Cianjur Selatan, sedangkan Jayasinghapura besar kemungkinan yang sekarang menjadi Jasinga, sebelah barat Bogor.[4]
Dalam makalah ini, kami akan menguraikan mengenai penjelasan dari Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’ tentang Kerajaan Salakanagara dalam konteks Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara serta Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah generasi Aki Tirem serta berakhirnya pemerintahan Kerajaan Salakanagara.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana penjelasan mengenai Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara serta Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah generasi Aki Tirem serta berakhirnya pemerintahan Kerajaan Salakanagara.
C.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara serta Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah generasi Aki Tirem serta berakhirnya pemerintahan Kerajaan Salakanagara.





BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara
1.      Sejarah Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara
Dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’ dijelaskan mengenai sejarah Kerajaan Salakanagara yang tentu di dalamnya terdapat masyarakat sunda. Namun, sebelum kita menguraikan tentang sejarah Kerajaan Salakanagara, kita harus mengetahui terlebih dahulu keadaan yang terjadi di Nusantara. Bahwasannya di Nusantara terutama Pasundan (Jawa Barat, Banten dan DKI sekarang) dari tahun 1 sampai dengan 129, mungkin belum ada kerajaan, yang ada hanyalah satuan kelompok masyarakat yang dipimpin seorang "datu" (kepala rakyat/penghulu) dan para pembantunya. Pemimpin tersebut merupakan seorang publik figur yang memiliki banyak kelebihan (berilmu dan perkasa), dapat melindungi dan mengayomi, sangat berpengaruh dan kharismatik. Pemimpin pada masa itu mempunyai kekuasaan mutlak selaku pemerintah/penguasa, pemuka agama, pemuka adat dan penentu keadilan/hakim. Keberadaanya ada yang diangkat berdasarkan Musyawarah (Musyawarah untuk mufakat telah ada pada masa itu ), karena kelebihanya, atau menjadi pemimpin karena keberhasilanya menaklukan pemimpin satuan/kelompok masyarakat terdahulu.[5]
Salahsatu wilayah pemukiman masyarakat yang terbesar di Pasundan  padawaktu itu adalahUjungkulon, Jawa bagian Barat. Pemimpin di Ujungkulon, Jawa bagian Barat itu adalah Datu Kirem atau lebih dikenal dengan namaAki Tirem.Dalam keterangan naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’ dijelaskan lebih lanjut bahwa Sudah sejak sebelum tarikh Masehi banyak orang asing berdatangan ke Nusantara. Mereka terutama terdiri atas orang Cina dan India. Di Nusantara mereka mencari rempah-rempah yang rupanya memang merupakan hasil bumi Nusantara yang banyak digemari di negara lain.Salah seorang India yang berasal dari keluarga Palawa, bernama Dewawarman. Ia sudah sering berkunjung ke Nusantara sehingga sempat menjalin tali permitraan dengan orang pribumi di daerah-daerah yang dikunjunginya itu. Mereka mencari rempah-rempah dan menjalin tali permitraan dengan orang pribumi. Karena hubungannya yang baik dengan orang pribumi itu, akhirnya oleh rajanya ia diangkat sebagai “duta keliling” di Nusantara, berkedudukan di Ujungkulon, Jawa bagian Barat. Oleh Aki Tirem, penguasa daerah Ujungkulon itu, Dewawarman dijadikan menantu dengan cara mengawinkannya dengan Pwahaci Larasati, anaknya.[6]
Dewawarman bersama anak buahnya, baik yang datang dari Palawa maupun penduduk pribumi, harus senantiasa menjaga ketertiban dan keamanan daerahnya. Bandar-bandar yang terletak di tepi laut atau di muara sungai itu sering didatangi perompak yang mengganggu keamanan dan ketertiban. Bahkan pada suatu hari, ada perahu perompak yang nekad berlabuh sehingga dengan segera perahu itu dikepung oleh pasukan Dewawarman. Terjadilah pertempuran yang sangat seru dan mengerikan. Sebanyak 37 orang perompak mati terbunuh, sedangkan yang tertawan atau luka-luka sejumlah 22 orang. Dalam pada itu, anggota pasukan Dewawarman yang terbunuh berjumlah tujuh orang, terdiri atas dua orang anak buahnya dan lima orang anak buah Aki Tirem. Perompak yang tertawan kemudian dihukum gantung sehingga tak seorang pun yang tinggal hidup. Akibat pertempuran itu, Aki Tirem memperoleh perahu yang lengkap dengan senjatanya, harta benda, dan busana yang tersimpan di perahu itu.[7]
Untuk merayakan kemenangan itu, Aki Tirem menyelenggarakan utsarwakarma ‘upacara jamuan’ lengkap dengan pertunjukan kesenian. Ketika itulah Pwahaci Larasati tampil mendampingi suaminya, duduk di kursi kehormatan. Melihat wanita yang demikian cantik, para anak buah Dewawarman tidak ada yang tidak terpesona. Akhirnya semua anak buahnya itu kawin dengan perempuan pribumi, dan mereka pun tidak ada yang kembali ke Negara asalnya, India. Mereka berdiam di Ujungkulon dan beranak-pinak di situ.Ketika Aki Tirem sakit parah, ia menyerahkan kekuasaan daerahnya kepada Dewawarman, menantunya. Dewawarman tidak menolak pelimpahan kekuasaan itu. Seluruh penduduk Ujungkulon, baik pribumi maupun anak buah Dewawarman, merasa sangat bergembira dengan pelimpahan tersebut. Mereka sudah cukup mengenal siapa dan bagaimana Dewawarman selama itu. Akhirnya, setelah Aki Tirem meniggal, Dewawarman mengangkat dirinya sebagai raja dengan nama nobat Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Isterinya, Pwahaci Larasati, menjadi permaisuri dengan nama Dewi Dhwanirahayu, sedangkan negaranya diberi nama Salakanagara.[8]
2.      Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara
Pada saat Dewawarman memasuki Nusantara untuk mencari rempah-rempah dan menjalin tali permitraan dengan orang pribumi, mereka juga menyebarkan agama mereka yaitu Trimurtiswara (pemujaan kepada Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa) karena dalam rombongannya juga ia membawa para pendeta Hindu.[9]
Selain dari itu, setelah berdiri dan berkembangnya Kerajaan Salakanagara, pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, kehidupan makmur sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesa, da nada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesa atau Ganapati. Sang Raja membuat candi patung Siwa Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandrakapala) dan patung Ganesha (Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera jauh dari kesusahan dan mara bahaya.[10]
B.     Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah Generasi Aki Tirem
1.      Peristiwa Akulturasi
Ketika Dewawarman menjalani kehidupannya bersama masyarakat Nusantara terutama di Ujungkulon,Dewawarman sangat baik dan baik sekali. Terutama dalam Peristiwa Akulturasi budaya dari India supaya bisa diterima oleh masyarakat yaitu agama. Penduduk di Ujungkulon juga masih keturunan kaum pendatang Juga. Sejak dahulu mereka memuja roh, api, bulan, matahari dan sebagainya. Singkatnya, mereka itu memuja roh. Kaum pendatang baru dari India itu telah menguasai berbagai ilmu karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di Ujungkulon. Hanya nama pujaannya yang diganti disesuaikan dengan adat penduduk di Ujungkulon.[11]
Dengan cara demikian, mereka tidak menemui kesulitan untuk mempelajarinya dan Demikianlah pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan pemujaan Dewa Aditya atau Dewa Surya dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak lama kemudian banyaklah penduduk di Ujungkulon yang memeluk agama baru itu. Inilah bukti betapa cemerlangnya proses akulturasi budaya ini yang dilakukan oleh para pendatang dari India yaitu Dewawarman dalam hal agama sangat memikat hati penduduk di sini.[12]
2.      Regenerasi setelah Generasi Aki Tirem
Dewawarman menantu Aki Tirem itu dikenal sebagai Dewawarman  I, sedangkan nama nobatnya adalah Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Isterinya bernama Pwahaci Larasari. Nama Raksagapurasagara sedikitnya “menyengat”, mengingat gunung yang terdapat di Pulau Panaitan, tempat ditemukan sejumlah arca Siwa dan Ganesa, bernama Raksa.Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa Barat bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Jawa, dan laut yang membentang antara Jawa dan Sumatera. Letaknya yang strategis itu menyebabkan Salakanagara berperan sebagai “gapura lautan” sehingga perahu yang simpang-siur dari barat ke timur dan sebaliknya, terpaksa harus singgah di situ dan memberikan upeti atau persembahan kepada Dewawarman.[13]
Masa pemerintahan Dewawarman I selama 38 tahun (130-168) ternyata tidak bertentangan dengan berita Cina yang berasal dari tahun 132. Berita itu menyebutkan tentang raja bernama Pien yang dianggap lafal Cina untuk Dewawarman. Dari perkawinannya dengan Pwahaci Larasati atau Dewi Dhwanirahayu itu lahir beberapa orang anak. Seorang di antaranya kemudian menggantikannya sebagai raja dengan gelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman atau Dewawarman II, dan memerintah tahun 168-195. Adapun yang lebih lengkapnya adalah sebagai berikut,
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah[14],
Tahun berkuasa
Nama raja
Julukan
Keterangan
1. 130-168 M
Dewawarman I
Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara
 Duta Negara India di pulau Jawa
2. 168-195 M
Dewawarman II
Prabhu Digwijayakasa Dewawarman

3. 195-238 M
Dewawarman III
Singhasagara Bhimasatyawirya

4. 238-252 M
Dewawarman IV
Sang Prabhu Dharmasatyanagara
Menantu Dewawarman III
5. 252-289 M
Dewawarman V
Sang Prabhu Amatya Sarwajala Dharmasatya Jayawarunadewa
Menantu Dewawarman IV
6. 289-308 M
Dewawarman VI
Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabhumi
Anak Dewawarman V
7. 308-340 M
Dewawarman VII
Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati
Anak Dewawarman VI
8. 340-348 M
Spatikarnawa[15]

Anak Dewawarman VII
9. 348-363 M
Dewawarman VIII
Sang Prabhu Dharmawirya Sakalabhuwana
Menantu Dewawarman VII

Daerah kuasa Salakanagara meliputi Jawa Barat bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat pulau Jawa. Laut yang memisahkan Jawa dari Suwarnadwipa pun termasuk wilayah Salakanagara juga. Dengan demikian, Salakanagara benar-benar menguasai seluruh pesisir dan laut kedua pulau. Perahu yang hilir-mudik di selat itu dari barat ke timur dan sebaliknya, umumnya berlabuh di Bandar Salakanagara. Perahu-perahu itu diwajibkan menyerahkan “pajak” kepada Salakanagara, dan sebagai imbalannya Salakanagara bertanggung jawab atas keselamatan perahu itu selama berada di wilayahnya. Sebaliknya, semua perahu perompak dan pengacau dirampas, sedangkan para perompak dan pengacau itu dihukum mati.Menurut catatan, Dewawarman memerintah selama 38 tahun, yaitu dari tahun 52 sampai 90 saka (130-168). Ia mempunyai dua orang isteri, seorang di antaranya puteri Palawa yang meninggal di negaranya dan turunannya tetap tinggal di sana. Isteri kedua adalah Pwahaci Larasati yang bergelar Dewi Dhwanirahayu. Dari Dhwanirahayu itu Dewawarman mempunyai beberapa orang anak. Seorang di antaranya, yang sulung, kemudian menggantikan Dewawarman, bernama Prabhu Digwijayakasa atau Dewawarman II.[16]
Demikianlah kisah yang termuat dalam Pustaka Rajakawas i Bhumi Nusantara, sarga pertama, yang merupakan parwa keempat dari naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara halaman 92-109. Naskah itu karya Panitia Wangsakerta dari Cirebon, dan seluruhnya (26 jilid) diselesaikan dalam waktu 21 tahun (1677-1698).Jika dibandingkan dengan berita Cina yang menyebutkan bahwa dalam tahun 132 ada utusan raja Pien dari Ye-t’iao ke Cina, hamper dapat dipastikan bahwa Pien adalah Dewawarman (I) menurut naskah itu. Apalagi para sarjana umumnya juga bersepakat menganggap bahwa Pien memang lafal Cina dari Dewawarman. Jika ini benar, maka nama gunung Raksa di pulau Panaitan (Ujungkulon) pun, besar kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan nama nobat Dewawarman, Haji Raksagapurasagara.[17]
Dalam perjalanannya, Kerajaan Salakanagara mengalami peristiwa yang sangat mengejutkan yaitu ketika terjadinya “Perebutan Kekuasaan Yang Pertama” pada masa setelah meninggalnya Dewawarman VII. Prabhu Ganayanadewa Linggabhumi atau Dewawarman VI adalah raja Salakanagara yang keenam. Ia memerintah selama 17 tahun (298-308) dan kawin dengan seorang puteri yang berasal dari India. Perkawinan itu menghasilkan enam orang anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak sulung yang kemudian menggantikan sebagai raja bernama Bhimadigwijaya Satyaganapati atau terkenal sebagai Dewawarman VII. Ia berkuasa selama 32 tahun (302-340). Anak kedua, perempuan bernama Salakakancana Warmandewi kemudian kawin dengan perwira di Negara Gauda, India. Anak ketiga juga perempuan, namanya Kartikacandra Warmandewi, kawin dengan pembesar negara Yawana, India. Adiknya, Ghopalajayeng Rana, setelah dewasa memperisteri puteri keluarga Salankayana, India. Bahkan ia berdiam di negara itu dan berhasil menjabat sebagai salah seorang raja di sana. Anak kelima, perempuan bernama Sri Gandhari Lengkaradewi yang kemudian bersuamikan panglima angkatan laut kerajaan Palawa, India. Anak bungsu, laki-laki bernama Skandamukha Dewawarman Jayasatru.[18]
Bhimadigwijaya mempunyai anak perempuan, Spatikarnawa, yang kemudian menggantikannya sebagai ratu setelah Bhimadigwijaya meninggal dalam tahun 340. Spatikarnawa memerintah selama delapan tahun (340-308). Suaminya yang bernama Dharmawirya Dewawarman Sakalabhuwana, atau terkenal sebagai Dewawarman VIII, kemudian menggantikan isterinya menjadi raja dan memerintah selama 15 tahun (348-363). Berdasarkan silsilahnya, ternyata Dharmawirya adalah anak laki-laki Sri Gandhari Lengkaradewi, dan itu berarti bahwa ia memperisteri kakak sepupunya sendiri. Sebenarnya Spatikarnawa tidak langsung menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja. Ada orang lain yang sempat menguasai tampuk pemerintahan Salakanagara, walaupun tidak berlangsung lama. Orang lain itu adalah Krodamaruta, anak laki-laki Ghopala. Dari silsilahnya, Krodamaruta pun masih keluarga Salakanagara juga; ia adalah keponakan Bhimadigwijaya, saudara sepupu Spatikarnawa. Berdasarkan silsilahnya itu, Krodamaruta menganggap bahwa dirinya pun mempunyai ha katas takhta Salakanagara. Hal itu menyebabkan ia berusaha merebut kekuasaan Salakanagara. Ia berangkat dari India membawa pasukan yang cukup besar dan lengkap pula persenjataannya. Ia tiba di Salakanagara tahun 340, tepat dalam tahun kematian Bhimadigwijaya. Belum jelas, apakah secara kebetulan ia tiba dalam tahun itu, ataukah Bhimadigwijaya meninggal karena perebutan kekuasaan yang dilakukan Krodamaruta.[19]
Setelah berkuasa, Krodamaruta nampaknya menjalankan kekuasaan dengan tangan besi, atau dengan cara demikian rupa sehingga tidak disukai rakyat. Krodamaruta melakukan penaklukan ke berbagai daerah, dan memaksa penduduknya agar mengakui kedaulatannya atas daerah tersebut. Krodamaruta tercatat mempunyai kegemaran berburu binatang liar di hutan. Pada suatu hari, ketika berburu, nasib malang menimpanya. Di sebuah tebing yang sangat terjal, sebongkah batu besar terjatuh dari atas, menimpanya. Hidupnya pun berakhir karena batu besar yang jatuh menimpanya itu. Rakyat yang memang tidak menyukai sepak terjangnya, menyambut kematian itu dengan perasaan bahagia. Krodamaruta hanya sempat berkuasa selama tiga bulan. Ia digantikan oleh puteri Bhimadigwijaya yang sebenarnya berhak atas takhta, yaitu Spatikarnawa. Peristiwa perebutan kekuasaan yang dilakukan Krodamaruta itu dengan demikian tercatat sebagai usaha perebutan kekuasaan yang pertama kali dilakukan. Terjadi dalam tahun 340, tidak kurang dari 210 tahun setelah kerajaan Salakanagara didirikan oleh Dewawarman I dalam tahun 130. Setelah itu, nampaknya cara itu, perebutan kekuasaan, sedikit banyak mewarnai peralihan kekuasaan di seluruh Nusantara. Bahkan, ketika dalam tahun 363, Rajadhirajaguru mendirikan kerajaan Tarumanagara pun, dapat dianggap sebagai usaha perebutan kekuasaan pula. Bukankah ia sebenarnya sebagai menantu Dewawarman VIII, dapat meneruskan kekuasaan di Salakanagara saja? Tetapi ia bertindak lain: Ia menyatakan bahwa Tarumanagara menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, sedangkan Salakanagara kemudian dijadikannya sebagai negara bagian saja dari negara barunya itu. Kisah tentang perebutan kekuasaan pertama itu termuat dalam naskah Pustaka Rajakawasa i Bhumi Nusantara (parwa keempat Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara) sarga pertama, halaman 117-125.[20]
C.     Berakhirnya Pemerintahan Kerajaan Salakanagara
Berakhirnya Pemerintahan Kerajaan Salakanagara adalah dimulai oleh adanya peristiwa yang terjadi di India, yaitu ada dua Negara yang dikalahkan oleh Samudragupta maharaja dari Kerajaan Maurya, dalam tahun 345, yaitu Kerajaan Salankayana dan Palawa. Sang Gupta kemudian menjadi raja yang paling berkuasa di seluruh India. Ia sangat kejam, tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang dikalahkannya. Akibatnya, banyak keluarga, pembesar, dan juga penduduk kedua Negara yang dikalahkan itu berupaya menyelamatkan diri. Dalam tahun 348, Maharesi Jayasinghawarman dari keluarga Salankayana, bersama dengan pengikutnya sebagai pengiring, tentara, dan penduduk laki-laki dan perempuan melarikan diri ke pulau-pulau di sebelah selatan karena selalu dikejar-kejar untuk ditangkap. Mereka tiba di pulau Jawa dan menetap di wilayah bagian barat. Di situ sang maharesi mendirikan dusun di tepi Ci Tarum, termasuk daerah kuasa Sang Prabhu Dewawarman VIII dari Salakanagara. Jayasinghawarman kemudian menjadi menantu Dewawarman VIII.[21]
Sekitar 10 tahun kemudian dusun itu berkembang karena banyak penduduk dari tempat lain menetap di situ. Beberapa tahun kemudian dusun itu pun telah menjadi nagara. Jayasinghawarman terus berusaha memperluas negaranya itu sampai menjadi kerajaan yang lalu diberinya namaTarumanagara[22]dengan pusat pemerintahannya di Jayasinghapura yang sudah berkembang menjadi kota besar[23] setelah sebelumnya pusat pemerintahan dari Kerajaan Salakanagara berada di Kota Rajatapura.[24] Jayasinghawarman memerintah di Tarumanagara selama 24 tahun (358-382). Ketika mertuanya, Dewawarman VIII, meninggal (363), kedudukannya sebagai raja Salakanagara digantikan oleh anaknya yang lain. Tetapi karena sementara itu kerajaan Tarumanagara sedang menanjak kekuasaannya, lagipula yang menjadi permaisuri Jayasinghawarman adalah anak pertama Dewawarman VIII, si pengganti itu mengakui kedaulatan Tarumanagara atas negaranya, dan ia menjadi raja bawahan. Dengan demikian, setelah kematian Dewawarman VIII, kisah kerajaan Salakanagara yang berdiri selama 233 tahun (130-363)[25] berakhir, dan digantikan oleh kisah kerajaan Tarumanagara yang berdiri selama 306 tahun (363-669)[26].[27]

BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
Sejarah dari orang sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara adalah ketika proses awal berdirinya Kerajaan Salakanagara. Orang Sunda pada jaman itu menganut agama yang dibawa oleh kaum Pendatang dengan menyebarkannya melalui proses Akulturai budaya dalam konteks agama dengan cara yang tepat dan tidak bertentangan dengan adat di daerah Sunda tersebut yaitu Ujungkulon, Jawa Barat.
Adapun generasi setelah Aki Tirem dalam hal nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara yang mempunyai karakter yang berbeda-beda yaitu Dewawarman I (Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara),  Dewawarman II (Prabhu Digwijayakasa Dewawarman), Dewawarman III (Singhasagara Bhimasatyawirya), Dewawarman IV (Sang Prabhu Dharmasatyanagara), Dewawarman V (Sang Prabhu Amatya Sarwajala Dharmasatya Jayawarunadewa), Dewawarman VI (Sang Prabhu Ghanayanadewa Linggabhumi), Dewawarman VII (Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati), Spatikarnawa, dan Dewawarman VIII (Sang Prabhu Dharmawirya Sakalabhuwana).
B.     Saran
Makalah yang kami susun ini, membuat kami terpanggil untuk menggali Sejarah Sunda itu seperti apa dan bagaimana. Setelah sebelumnya, Kami seakan-akan tidak tertarik dengan kebudayaan kita sendiri karena terpengaruhi oleh budaya barat. Tentunya, Kami harapkan kepada semua orang khususnya Orang Sunda, marilah kita telusuri dan pahami mengenai sejarah kebudayaan kita itu seperti apa dan bagaimana. Salah satu caranya dengan membaca makalah ini. Semoga bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. (2005).Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Iskandar, Yoseph. (2013).Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten

Aditya, Andi.“Kerajaan Salakanagara” dalam http://sunda-nusamulya.blogspot.com/2013/01/kerajaan-salakanagara.html. Diakses tanggal 04 Februari 2015


[1] Ayatrohaedi, Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2005), hlm. 56.
[2]Ibid.,hlm. 56.
[3] Yoseph Iskandar, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), (Bandung: Geger Sunten, 2013), hlm. 34.
[4]Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 56-57.
[6] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 60.
[7] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 60-61.
[8] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 61.
[9] Yoseph Iskandar, op. cit., hlm. 36.
[10] Yoseph Iskandar, op. cit., hlm. 46.
[11]Yoseph Iskandar, op. cit., hlm. 36.
[12]Yoseph Iskandar, op. cit., hlm. 36-37.
[13] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 57-58.
[14] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 58.
[15] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 63.
[16] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 61-62.
[17] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 62.
[18] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 63.
[19]Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 63-64.
[20] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 64-65.
[21] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 69.
[22] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 69.
[23] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 58.
[24] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 77.
[25] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 73.
[26] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 73.
[27] Ayatrohaedi, op. cit., hlm. 77-78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar