PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hingga saat ini, kalau kita membicarakan kerajaan tertua di
Indonesia, nama yang muncul selalu kerajaan Kutai dari Tarumanagara. Kutai
sebenarnya bukan nama kerajaan tertua, melainkan nama daerah (sekarang) tempat
kira-kira kerajaan tertua itu terletak. Sebaliknya, Tarumanagara memang nama
kerajaan yang terletak di daerah Jawa Barat. Dengan demikian, jika kita dapat
menyebutkan kerajaan Tarumanagara, di pihak lain kita “terpaksa” harus
menyebutkan kerajaan di Kutai.[1]
Untunglah beberapa tahun yang lalu ditemukan sejumlah naskah tua
yang ternyata merupakan satu kesatuan. Berdasarkan keterangan yang terdapat
pada jilid terakhir naskah itu dapat diketahui bahwa naskah itu seluruhnya
terdiri atas 25 jilid (sebenarnya 26 jilid, karena jilid terakhir yang
merupakan daftar pustaka dibuat rangkap dua). Nama seluruh naskah itu,
sebagaimana dituliskan sendiri oleh para penyusunnya adalah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan
Nusantara’. Kumpulan naskah itu terbagi ke dalam lima parwa ‘bagian’,
dan setiap parwa terdiri atas lima sarga ‘bab’. Naskah yang ternyata
merupakan naskah “sejarah” itu disusun di Cirebon oleh panitia yang diketuai oleh
Pangeran Wangsakerta, yaitu Abdulkadir Muhammad Nasaruddin sebagai Panembahan
Carbon, antara tahun 1677 dan 1698 Masehi.[2]
Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab
(mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’ masih diteliti oleh para ahli sejarah
karena adanya Ketidaksepakatan para ahli tentang isi naskah ini.[3]
Namun, Jika kebenaran naskah itu dapat dipercaya, akan dapat diketahui bahwa
banyak sekali hal dalam sejarah kita yang selama ini masih belum jelas, dalam
naskah itu diuraikan dengan jelas. Nama kerajaan di Kutai itu, misalnya,
disebutkan Bakulapura, sedangkan nama dua orang tokohnya, yaitu Kundungga
dan Aswawarman sebagaimana kita kenal dalam prasasti, juga ditemukan
dalam naskah itu. Hanya, jika tafsiran kita atas prasasti itu selama ini
menyimpulkan bahwa Aswawarman anak Kundungga, naskah itu
menyebabkan bahwa Aswawarman adalah menantu Kundungga. Aswawarman sendiri
berasal dari Salakanagara, kerajaan “perintis” Tarumanagara, sebagai
anak Dewawarman VIII.Naskah itu juga menyebutkan nama beberapa kerajaan
Tarumanagara muncul. Dua nama yang terpenting adalah Salakanagara dan Jayasinghapura.
Di samping itu masih ada nama Agrabinta dan Hujungkulwan. Nama
Agrabinta barangkali sekarang masih tertinggal pada nama yang sama, Agrabinta
di daerah Cianjur Selatan, sedangkan Jayasinghapura besar kemungkinan
yang sekarang menjadi Jasinga, sebelah barat Bogor.[4]
Dalam makalah ini, kami akan menguraikan mengenai penjelasan dari Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’
tentang Kerajaan Salakanagara dalam konteks Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada
jaman Kerajaan Salakanagara serta Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah
generasi Aki Tirem serta berakhirnya pemerintahan Kerajaan Salakanagara.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana penjelasan mengenai
Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara serta
Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah generasi Aki Tirem serta
berakhirnya pemerintahan Kerajaan Salakanagara.
C.
Tujuan
Penulisan
Untuk mengetahui Sejarah dan Keyakinan Orang Sunda pada jaman
Kerajaan Salakanagara serta Peristiwa Akulturasi dan Regenerasi setelah
generasi Aki Tirem serta berakhirnya pemerintahan Kerajaan Salakanagara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan
Keyakinan Orang Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara
1.
Sejarah Orang
Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara
Dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab
(mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’ dijelaskan mengenai sejarah Kerajaan
Salakanagara yang tentu di dalamnya terdapat masyarakat sunda. Namun, sebelum
kita menguraikan tentang sejarah Kerajaan Salakanagara, kita harus mengetahui
terlebih dahulu keadaan yang terjadi di Nusantara. Bahwasannya di Nusantara
terutama Pasundan (Jawa Barat, Banten dan DKI
sekarang) dari tahun 1 sampai dengan 129, mungkin belum ada kerajaan, yang ada
hanyalah satuan kelompok masyarakat yang dipimpin seorang "datu"
(kepala rakyat/penghulu) dan para pembantunya. Pemimpin tersebut merupakan
seorang publik figur yang memiliki banyak kelebihan (berilmu dan perkasa),
dapat melindungi dan mengayomi, sangat berpengaruh dan kharismatik. Pemimpin
pada masa itu mempunyai kekuasaan mutlak selaku pemerintah/penguasa, pemuka
agama, pemuka adat dan penentu keadilan/hakim. Keberadaanya ada yang diangkat
berdasarkan Musyawarah (Musyawarah untuk mufakat telah ada pada masa itu ),
karena kelebihanya, atau menjadi pemimpin karena keberhasilanya menaklukan
pemimpin satuan/kelompok masyarakat terdahulu.[5]
Salahsatu wilayah pemukiman masyarakat yang terbesar di
Pasundan padawaktu itu adalahUjungkulon, Jawa bagian Barat. Pemimpin di Ujungkulon, Jawa bagian Barat itu adalah Datu Kirem
atau lebih dikenal dengan namaAki Tirem.Dalam keterangan naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab (mengenai) Kerajaan-kerajaan Nusantara’
dijelaskan lebih lanjut bahwa Sudah sejak sebelum tarikh Masehi banyak orang asing
berdatangan ke Nusantara. Mereka terutama terdiri atas orang Cina dan India. Di
Nusantara mereka mencari rempah-rempah yang rupanya memang merupakan hasil bumi
Nusantara yang banyak digemari di negara lain.Salah seorang India yang berasal
dari keluarga Palawa, bernama Dewawarman. Ia sudah sering berkunjung ke
Nusantara sehingga sempat menjalin tali permitraan dengan orang pribumi di
daerah-daerah yang dikunjunginya itu. Mereka mencari rempah-rempah dan menjalin tali
permitraan dengan orang pribumi. Karena hubungannya yang baik dengan orang
pribumi itu, akhirnya oleh rajanya ia diangkat sebagai “duta keliling” di
Nusantara, berkedudukan di Ujungkulon, Jawa bagian Barat. Oleh Aki Tirem,
penguasa daerah Ujungkulon itu, Dewawarman dijadikan menantu dengan cara
mengawinkannya dengan Pwahaci Larasati, anaknya.[6]
Dewawarman bersama anak buahnya, baik yang
datang dari Palawa maupun penduduk pribumi, harus senantiasa menjaga ketertiban
dan keamanan daerahnya. Bandar-bandar yang terletak di tepi laut atau di muara
sungai itu sering didatangi perompak yang mengganggu keamanan dan ketertiban.
Bahkan pada suatu hari, ada perahu perompak yang nekad berlabuh sehingga dengan
segera perahu itu dikepung oleh pasukan Dewawarman. Terjadilah pertempuran yang
sangat seru dan mengerikan. Sebanyak 37 orang perompak mati terbunuh, sedangkan
yang tertawan atau luka-luka sejumlah 22 orang. Dalam pada itu, anggota pasukan
Dewawarman yang terbunuh berjumlah tujuh orang, terdiri atas dua orang anak
buahnya dan lima orang anak buah Aki Tirem. Perompak yang tertawan kemudian
dihukum gantung sehingga tak seorang
pun yang tinggal hidup. Akibat pertempuran itu, Aki Tirem memperoleh perahu
yang lengkap dengan senjatanya, harta benda, dan busana yang tersimpan di
perahu itu.[7]
Untuk merayakan kemenangan itu, Aki Tirem menyelenggarakan utsarwakarma
‘upacara jamuan’ lengkap dengan pertunjukan kesenian. Ketika itulah Pwahaci
Larasati tampil mendampingi suaminya, duduk di kursi kehormatan. Melihat wanita
yang demikian cantik, para anak buah Dewawarman tidak ada yang tidak terpesona.
Akhirnya semua anak buahnya itu kawin dengan perempuan pribumi, dan mereka pun
tidak ada yang kembali ke Negara asalnya, India. Mereka berdiam di Ujungkulon
dan beranak-pinak di situ.Ketika Aki Tirem sakit parah, ia menyerahkan
kekuasaan daerahnya kepada Dewawarman, menantunya. Dewawarman tidak menolak
pelimpahan kekuasaan itu. Seluruh penduduk Ujungkulon, baik pribumi maupun anak
buah Dewawarman, merasa sangat bergembira dengan pelimpahan tersebut. Mereka
sudah cukup mengenal siapa dan bagaimana Dewawarman selama itu. Akhirnya,
setelah Aki Tirem meniggal, Dewawarman mengangkat dirinya sebagai raja dengan
nama nobat Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Isterinya,
Pwahaci Larasati, menjadi permaisuri dengan nama Dewi Dhwanirahayu, sedangkan
negaranya diberi nama Salakanagara.[8]
2.
Keyakinan Orang
Sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara
Pada saat Dewawarman memasuki Nusantara untuk mencari rempah-rempah
dan menjalin tali
permitraan dengan orang pribumi, mereka juga
menyebarkan agama mereka yaitu Trimurtiswara (pemujaan kepada Dewa
Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa) karena dalam
rombongannya juga ia membawa para pendeta Hindu.[9]
Selain dari itu, setelah berdiri dan berkembangnya Kerajaan
Salakanagara, pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, kehidupan makmur sentosa.
Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk, ada yang memuja
Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja
Ganesa, da nada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah
agama Ganesa atau Ganapati. Sang Raja membuat candi patung Siwa
Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandrakapala)
dan patung Ganesha (Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para
pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera jauh dari
kesusahan dan mara bahaya.[10]
B.
Peristiwa Akulturasi
dan Regenerasi setelah Generasi Aki Tirem
1.
Peristiwa
Akulturasi
Ketika Dewawarman menjalani kehidupannya bersama masyarakat
Nusantara terutama di Ujungkulon,Dewawarman sangat baik dan baik sekali.
Terutama dalam Peristiwa Akulturasi budaya dari India supaya bisa diterima oleh
masyarakat yaitu agama. Penduduk di Ujungkulon juga masih keturunan kaum
pendatang Juga. Sejak dahulu mereka memuja roh, api, bulan, matahari dan
sebagainya. Singkatnya, mereka itu memuja roh. Kaum pendatang baru dari India
itu telah menguasai berbagai ilmu karena mereka telah mempelajarinya di negeri
asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di Ujungkulon.
Hanya nama pujaannya yang diganti disesuaikan dengan adat penduduk di
Ujungkulon.[11]
Dengan cara demikian, mereka tidak menemui kesulitan untuk
mempelajarinya dan Demikianlah pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa
Agni, pemujaan matahari disamakan dengan pemujaan Dewa Aditya atau Dewa Surya
dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar disamakan dengan pemujaan Hyang
Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga dewa atau
trimurti. Tak lama kemudian banyaklah penduduk di Ujungkulon yang memeluk agama
baru itu. Inilah bukti betapa cemerlangnya proses akulturasi budaya ini yang
dilakukan oleh para pendatang dari India yaitu Dewawarman dalam hal agama
sangat memikat hati penduduk di sini.[12]
2.
Regenerasi
setelah Generasi Aki Tirem
Dewawarman menantu Aki Tirem itu dikenal sebagai Dewawarman I, sedangkan nama nobatnya adalah Prabhu
Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Isterinya bernama Pwahaci
Larasari. Nama Raksagapurasagara sedikitnya “menyengat”, mengingat
gunung yang terdapat di Pulau Panaitan, tempat ditemukan sejumlah arca Siwa dan
Ganesa, bernama Raksa.Kerajaan Salakanagara meliputi daerah Jawa Barat
bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Jawa, dan
laut yang membentang antara Jawa dan Sumatera. Letaknya yang strategis itu
menyebabkan Salakanagara berperan sebagai “gapura lautan” sehingga perahu yang
simpang-siur dari barat ke timur dan sebaliknya, terpaksa harus singgah di situ
dan memberikan upeti atau persembahan kepada Dewawarman.[13]
Masa
pemerintahan Dewawarman I selama 38 tahun (130-168) ternyata tidak bertentangan
dengan berita Cina yang berasal dari tahun 132. Berita itu menyebutkan tentang
raja bernama Pien yang dianggap lafal Cina untuk Dewawarman. Dari
perkawinannya dengan Pwahaci Larasati atau Dewi Dhwanirahayu itu lahir
beberapa orang anak. Seorang di antaranya kemudian menggantikannya sebagai raja
dengan gelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman atau Dewawarman II,
dan memerintah tahun 168-195. Adapun yang lebih lengkapnya adalah sebagai
berikut,
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan
Salakanagara adalah[14],
Tahun berkuasa
|
Nama raja
|
Julukan
|
Keterangan
|
1. 130-168 M
|
Dewawarman I
|
Prabhu Dharmalokapala Dewawarman
Haji Raksagapurasagara
|
Duta Negara India di pulau Jawa
|
2. 168-195 M
|
Dewawarman II
|
Prabhu Digwijayakasa Dewawarman
|
|
3. 195-238 M
|
Dewawarman III
|
Singhasagara Bhimasatyawirya
|
|
4. 238-252 M
|
Dewawarman IV
|
Sang Prabhu Dharmasatyanagara
|
Menantu Dewawarman III
|
5. 252-289 M
|
Dewawarman V
|
Sang Prabhu Amatya Sarwajala
Dharmasatya Jayawarunadewa
|
Menantu Dewawarman IV
|
6. 289-308 M
|
Dewawarman VI
|
Sang Prabhu Ghanayanadewa
Linggabhumi
|
Anak Dewawarman V
|
7. 308-340 M
|
Dewawarman VII
|
Sang Prabhu Bhimadigwijaya
Satyaganapati
|
Anak Dewawarman VI
|
8. 340-348 M
|
Spatikarnawa[15]
|
|
Anak Dewawarman VII
|
9. 348-363 M
|
Dewawarman VIII
|
Sang Prabhu Dharmawirya
Sakalabhuwana
|
Menantu Dewawarman VII
|
Daerah kuasa Salakanagara meliputi Jawa Barat bagian barat,
termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat pulau Jawa. Laut yang
memisahkan Jawa dari Suwarnadwipa pun termasuk wilayah Salakanagara juga.
Dengan demikian, Salakanagara benar-benar menguasai seluruh pesisir dan laut
kedua pulau. Perahu yang hilir-mudik di selat itu dari barat ke timur dan
sebaliknya, umumnya berlabuh di Bandar Salakanagara. Perahu-perahu itu
diwajibkan menyerahkan “pajak” kepada Salakanagara, dan sebagai imbalannya
Salakanagara bertanggung jawab atas keselamatan perahu itu selama berada di
wilayahnya. Sebaliknya, semua perahu perompak dan pengacau dirampas, sedangkan
para perompak dan pengacau itu dihukum mati.Menurut catatan, Dewawarman
memerintah selama 38 tahun, yaitu dari tahun 52 sampai 90 saka (130-168). Ia
mempunyai dua orang isteri, seorang di antaranya puteri Palawa yang meninggal
di negaranya dan turunannya tetap tinggal di sana. Isteri kedua adalah Pwahaci
Larasati yang bergelar Dewi Dhwanirahayu. Dari Dhwanirahayu itu Dewawarman
mempunyai beberapa orang anak. Seorang di antaranya, yang sulung, kemudian
menggantikan Dewawarman, bernama Prabhu Digwijayakasa atau Dewawarman II.[16]
Demikianlah kisah yang termuat dalam Pustaka Rajakawas i Bhumi
Nusantara, sarga pertama, yang merupakan parwa keempat dari naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara halaman 92-109. Naskah itu karya Panitia
Wangsakerta dari Cirebon, dan seluruhnya (26 jilid) diselesaikan dalam waktu 21
tahun (1677-1698).Jika dibandingkan dengan berita Cina yang menyebutkan bahwa
dalam tahun 132 ada utusan raja Pien dari Ye-t’iao ke Cina, hamper dapat
dipastikan bahwa Pien adalah Dewawarman (I) menurut naskah itu. Apalagi
para sarjana umumnya juga bersepakat menganggap bahwa Pien memang lafal Cina
dari Dewawarman. Jika ini benar, maka nama gunung Raksa di pulau Panaitan
(Ujungkulon) pun, besar kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan nama nobat
Dewawarman, Haji Raksagapurasagara.[17]
Dalam perjalanannya, Kerajaan Salakanagara mengalami peristiwa yang
sangat mengejutkan yaitu ketika terjadinya “Perebutan Kekuasaan Yang Pertama”
pada masa setelah meninggalnya Dewawarman VII. Prabhu Ganayanadewa
Linggabhumi atau Dewawarman VI adalah raja Salakanagara yang
keenam. Ia memerintah selama 17 tahun (298-308) dan kawin dengan seorang puteri
yang berasal dari India. Perkawinan itu menghasilkan enam orang anak, tiga
laki-laki dan tiga perempuan. Anak sulung yang kemudian menggantikan sebagai raja
bernama Bhimadigwijaya Satyaganapati atau terkenal sebagai Dewawarman
VII. Ia berkuasa selama 32 tahun (302-340). Anak kedua, perempuan bernama Salakakancana
Warmandewi kemudian kawin dengan perwira di Negara Gauda, India. Anak
ketiga juga perempuan, namanya Kartikacandra Warmandewi, kawin dengan
pembesar negara Yawana, India. Adiknya, Ghopalajayeng Rana, setelah
dewasa memperisteri puteri keluarga Salankayana, India. Bahkan ia berdiam di
negara itu dan berhasil menjabat sebagai salah seorang raja di sana. Anak
kelima, perempuan bernama Sri Gandhari Lengkaradewi yang kemudian
bersuamikan panglima angkatan laut kerajaan Palawa, India. Anak bungsu,
laki-laki bernama Skandamukha Dewawarman Jayasatru.[18]
Bhimadigwijaya mempunyai anak perempuan, Spatikarnawa, yang
kemudian menggantikannya sebagai ratu setelah Bhimadigwijaya meninggal dalam
tahun 340. Spatikarnawa memerintah selama delapan tahun (340-308). Suaminya
yang bernama Dharmawirya
Dewawarman Sakalabhuwana, atau
terkenal sebagai Dewawarman VIII, kemudian menggantikan isterinya menjadi raja
dan memerintah selama 15 tahun (348-363). Berdasarkan silsilahnya, ternyata
Dharmawirya adalah anak laki-laki Sri Gandhari Lengkaradewi, dan itu berarti
bahwa ia memperisteri kakak sepupunya sendiri. Sebenarnya Spatikarnawa tidak
langsung menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja. Ada orang lain yang
sempat menguasai tampuk pemerintahan Salakanagara, walaupun tidak berlangsung
lama. Orang lain itu adalah Krodamaruta,
anak laki-laki Ghopala. Dari
silsilahnya, Krodamaruta pun masih keluarga Salakanagara juga; ia adalah
keponakan Bhimadigwijaya, saudara sepupu Spatikarnawa. Berdasarkan silsilahnya
itu, Krodamaruta menganggap bahwa dirinya pun mempunyai ha katas takhta
Salakanagara. Hal itu menyebabkan ia berusaha merebut kekuasaan Salakanagara.
Ia berangkat dari India membawa pasukan yang cukup besar dan lengkap pula
persenjataannya. Ia tiba di Salakanagara tahun 340, tepat dalam tahun kematian
Bhimadigwijaya. Belum jelas, apakah secara kebetulan ia tiba dalam tahun itu,
ataukah Bhimadigwijaya meninggal karena perebutan kekuasaan yang dilakukan
Krodamaruta.[19]
Setelah berkuasa, Krodamaruta nampaknya
menjalankan kekuasaan dengan tangan besi, atau dengan cara demikian rupa
sehingga tidak disukai rakyat. Krodamaruta melakukan penaklukan ke berbagai
daerah, dan memaksa penduduknya agar mengakui kedaulatannya atas daerah
tersebut. Krodamaruta tercatat mempunyai kegemaran berburu binatang liar di
hutan. Pada suatu hari, ketika berburu, nasib malang menimpanya. Di sebuah tebing
yang sangat terjal, sebongkah batu besar terjatuh dari atas, menimpanya.
Hidupnya pun berakhir karena batu besar yang jatuh menimpanya itu. Rakyat yang
memang tidak menyukai sepak terjangnya, menyambut kematian itu dengan perasaan
bahagia. Krodamaruta hanya sempat berkuasa selama tiga bulan. Ia digantikan
oleh puteri Bhimadigwijaya yang sebenarnya berhak atas takhta, yaitu
Spatikarnawa. Peristiwa perebutan kekuasaan yang dilakukan Krodamaruta itu
dengan demikian tercatat sebagai usaha perebutan kekuasaan yang pertama kali
dilakukan. Terjadi dalam tahun 340, tidak kurang dari 210 tahun setelah
kerajaan Salakanagara didirikan oleh Dewawarman I dalam tahun 130. Setelah itu,
nampaknya cara itu, perebutan kekuasaan, sedikit banyak mewarnai peralihan
kekuasaan di seluruh Nusantara. Bahkan, ketika dalam tahun 363, Rajadhirajaguru
mendirikan kerajaan Tarumanagara pun, dapat dianggap sebagai usaha perebutan
kekuasaan pula. Bukankah ia sebenarnya sebagai menantu Dewawarman VIII, dapat
meneruskan kekuasaan di Salakanagara saja? Tetapi ia bertindak lain: Ia
menyatakan bahwa Tarumanagara menjadi negara yang merdeka dan berdaulat,
sedangkan Salakanagara kemudian dijadikannya sebagai negara bagian saja dari
negara barunya itu. Kisah tentang perebutan kekuasaan pertama itu termuat dalam
naskah Pustaka
Rajakawasa i Bhumi Nusantara (parwa keempat Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara) sarga pertama, halaman 117-125.[20]
C.
Berakhirnya
Pemerintahan Kerajaan Salakanagara
Berakhirnya
Pemerintahan Kerajaan Salakanagara adalah dimulai oleh adanya peristiwa yang
terjadi di India, yaitu ada dua Negara yang dikalahkan oleh Samudragupta
maharaja dari Kerajaan Maurya, dalam tahun 345, yaitu Kerajaan Salankayana dan
Palawa. Sang Gupta kemudian menjadi raja yang paling berkuasa di seluruh India.
Ia sangat kejam, tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang
dikalahkannya. Akibatnya, banyak keluarga, pembesar, dan juga penduduk kedua
Negara yang dikalahkan itu berupaya menyelamatkan diri. Dalam tahun 348,
Maharesi Jayasinghawarman dari keluarga Salankayana, bersama dengan
pengikutnya sebagai pengiring, tentara, dan penduduk laki-laki dan perempuan
melarikan diri ke pulau-pulau di sebelah selatan karena selalu dikejar-kejar
untuk ditangkap. Mereka tiba di pulau Jawa dan menetap di wilayah bagian barat.
Di situ sang maharesi mendirikan dusun di tepi Ci Tarum, termasuk daerah kuasa Sang
Prabhu Dewawarman VIII dari Salakanagara. Jayasinghawarman kemudian
menjadi menantu Dewawarman VIII.[21]
Sekitar
10 tahun kemudian dusun itu berkembang karena banyak penduduk dari tempat lain
menetap di situ. Beberapa tahun kemudian dusun itu pun telah menjadi nagara.
Jayasinghawarman terus berusaha memperluas negaranya itu sampai menjadi
kerajaan yang lalu diberinya namaTarumanagara[22]dengan
pusat pemerintahannya di Jayasinghapura yang sudah berkembang menjadi kota
besar[23]
setelah sebelumnya pusat pemerintahan dari Kerajaan Salakanagara berada di Kota
Rajatapura.[24]
Jayasinghawarman memerintah di Tarumanagara selama 24 tahun (358-382). Ketika
mertuanya, Dewawarman VIII, meninggal (363), kedudukannya sebagai raja
Salakanagara digantikan oleh anaknya yang lain. Tetapi karena sementara itu
kerajaan Tarumanagara sedang menanjak kekuasaannya, lagipula yang menjadi permaisuri
Jayasinghawarman adalah anak pertama Dewawarman VIII, si pengganti itu mengakui
kedaulatan Tarumanagara atas negaranya, dan ia menjadi raja bawahan. Dengan
demikian, setelah kematian Dewawarman VIII, kisah kerajaan Salakanagara yang
berdiri selama 233 tahun (130-363)[25]
berakhir, dan digantikan oleh kisah kerajaan Tarumanagara yang berdiri selama
306 tahun (363-669)[26].[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sejarah
dari orang sunda pada jaman Kerajaan Salakanagara adalah ketika proses awal
berdirinya Kerajaan Salakanagara. Orang Sunda pada jaman itu menganut agama
yang dibawa oleh kaum Pendatang dengan menyebarkannya melalui proses Akulturai
budaya dalam konteks agama dengan cara yang tepat dan tidak bertentangan dengan
adat di daerah Sunda tersebut yaitu Ujungkulon, Jawa Barat.
Adapun
generasi setelah Aki Tirem dalam hal nama raja yang memerintah Kerajaan
Salakanagara yang mempunyai karakter yang berbeda-beda yaitu Dewawarman I
(Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara), Dewawarman II (Prabhu Digwijayakasa
Dewawarman), Dewawarman III (Singhasagara Bhimasatyawirya), Dewawarman IV (Sang
Prabhu Dharmasatyanagara), Dewawarman V (Sang Prabhu Amatya Sarwajala
Dharmasatya Jayawarunadewa), Dewawarman VI (Sang Prabhu Ghanayanadewa
Linggabhumi), Dewawarman VII (Sang Prabhu Bhimadigwijaya Satyaganapati), Spatikarnawa,
dan Dewawarman VIII (Sang Prabhu Dharmawirya Sakalabhuwana).
B.
Saran
Makalah
yang kami susun ini, membuat kami terpanggil untuk menggali Sejarah Sunda itu
seperti apa dan bagaimana. Setelah sebelumnya, Kami seakan-akan tidak tertarik
dengan kebudayaan kita sendiri karena terpengaruhi oleh budaya barat. Tentunya,
Kami harapkan kepada semua orang khususnya Orang Sunda, marilah kita telusuri
dan pahami mengenai sejarah kebudayaan kita itu seperti apa dan bagaimana.
Salah satu caranya dengan membaca makalah ini. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. (2005).Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda
Berdasarkan Naskah-Naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya
Iskandar, Yoseph. (2013).Sejarah Jawa Barat (Yuganing
Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten
Aditya, Andi.“Kerajaan Salakanagara” dalam http://sunda-nusamulya.blogspot.com/2013/01/kerajaan-salakanagara.html.
Diakses tanggal 04 Februari 2015
[1] Ayatrohaedi, Sundakala:
Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon,
(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2005), hlm. 56.
[3] Yoseph
Iskandar, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), (Bandung: Geger
Sunten, 2013), hlm. 34.
[4]Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 56-57.
[5] Andi Aditya, Kerajaan Salakanagara, 2013, (http://sunda-nusamulya.blogspot.com/2013/01/kerajaan-salakanagara.html).
[6] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 60.
[7] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 60-61.
[8] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 61.
[9] Yoseph
Iskandar, op. cit., hlm. 36.
[10] Yoseph
Iskandar, op. cit., hlm. 46.
[11]Yoseph
Iskandar, op. cit., hlm. 36.
[12]Yoseph
Iskandar, op. cit., hlm. 36-37.
[13] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 57-58.
[14] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 58.
[15] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 63.
[16] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 61-62.
[17] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 62.
[18] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 63.
[19]Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 63-64.
[20] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 64-65.
[21] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 69.
[22] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 69.
[23] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 58.
[24] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 77.
[25] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 73.
[26] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 73.
[27] Ayatrohaedi, op.
cit., hlm. 77-78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar